Ada kisah tentang pengelana. Dia membeli doa dengan tangisan. Pun itu kebanyakan.
Banjir jadi si nakal dalam doa-doa belian-nya. Salahnya. Apa laporan yang dicatat hanya tangisan?
Lalu pengelana terperangkap dalam hutan akasia. Musim gugur
sebenarnya. Reranting mencuat kokoh, si pengelana kehilangan kompas.
Dikumpulkannya yang memanjang kebelakang, ternyata cuma belum pernah ada
yang membuka jalan.
Dengan bekal biji-biji kuaci, parang dan sekelumit dari doa tersisa.
Pengelana menggaris lebar jalurnya sendiri. Lelahnya terasa jadi ilusi,
cepat-cepat ia bergerak. Doa di tangannya hampir kedaluarsa.
Lalu dari sisa kuaci yang ia tebar, diselipkannya sebiji yang paling
besar di salah satu huruf dalam doanya. Yang sebiji itu jadinya
matahari.
Saat bertemu sungai, pengelana malu. Dengan tangisan ia berani
membeli doa, sementara langit tiap hari hujan dengan ikhlas bahkan mampu
berbagi doa.
Pengelana lantas menetapkan rumahnya. Gurun pasir tempat ia mengasingkan diri. Tangis di hari-hari lanjutnya akan lebih berguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar