Elena menghabiskan sisa minumnya, lalu melirik handphone di tangan.
Ada pesan masuk dari Egi.
Mama yang melihat tingkah Elena
sedikit mengernyitkan hidung, “Berapa kali mama bilang sih Len, jangan bawa
handhone ke meja makan.” Cela mama tidak suka.
Elena menelungkupkan sendok dan garpu ke atas piring dengan rapi,
“Lena kan udah selesai makan, Ma” jawabnya sembari nyengir. Dia melap mulutnya
lalu bangkit dari kursi.
“Mah, Pah, Lena ke kamar duluan ya? Udah ada Egi di chat room”
pamitnya singkat lalu pergi ke kamarnya di lantai atas.
“Kalo aja Egi nih cowok, mungkin Reza gabakalan curiga Ma, tapi
kan Egi ini cewek. Masa sampe segitunya sih temenan mereka? Kaya orang pacaran
aja.” Reza, kakak cewek Elena bersungut kecil disela suapan makan malamnya.
“Hus ah~ kamu ini, mereka kan emang temenan baik. Kalo istilah
mama waktu muda dulu, yang kaya gini nih namanya sahabat pena~” Sahut mama
menanggapi, papa cuma senyum melihat kegusaran Reza.
***
Kulewati
selasar kampus yang memasang majalah dinding besar di samping pintu UKM PersMa.
Aku sudah pernah membaca apa yang tertulis di sana. Dulu sayang rasanya jika
hanya untuk melewati, apa yang tertulis biasanya memuat informasi yang nyaman
untuk dikonsumsi. Tapi hari-hari belakangan ini justru memuakkan jika aku harus
berhenti untuk melihat artikel yang dipost di sana sementara aku tau satu
artikel tentangnya selalu bisa dipastikan ada.
Nafas yang
ku hela tiba-tiba sesak. Artikel itu masih ada di sana. Melalui sekilas mata,
mau tak mau aku mencoba memastikannya. Lalu, begitu saja kulewati. Lukanya
bertambah lagi.
Kubuka
wristband tebal berwarna biru gelap di tangan kiri, garis-garis luka di
pergelangannya masih setengah kering. Yang terakhir baru dua hari yang lalu.
Kembali ku hela nafas berat, malam ini mungkin harus kutambah segaris lagi.
Setengah menimbangkan, harus kubuat di atasnya ataukah di sisi yang lain?
Koridor
mading tadi jauh terlewat di belakang, tapi sesaknya makin menusuk. Aku tak
pernah tau jika luka bisa menguntit sejauh ini.
Memasuki
kawasan parkir, sedikit berdoa, kubiarkan pandanganku menyapu semua mobil yang
terparkir di sana. Semoga tak ada, semoga tak ada, semoga ada!
Aku sendiri
tak tau kenapa doaku seperti itu. Jika dia tak ada mungkin tanganku akan
meluluskan keinginan yang telah mengendap semenjak berminggu-minggu lalu untuk
memberi baret di mobilnya, hanya untuk menunjukkan potret dari apa yang
kualami. Yang di dalam ini.
Tapi dia
ada. Dia selalu ada. Dia tau benar semua jadwalku. Kapan aku pulang atau kapan
aku datang tiap pagi.
AD321KA
Sial. Aku tak
mau melihat ke arah mobil itu sebenarnya. Plat nomor itu seolah representasi
dari ketololanku. Tapi mataku berkhianat. Kulihat ia tersenyum dari balik kaca
depannya yang bening, ku segerakan langkah. Aku malas jika dia mulai
menggelayut lagi menyusulku, berat jika harus tersenyum di hadapannya.
“Len~” dia
sudah di belakangku. Tak tau kapan dia keluar dari mobil mewahnya dan menyusul
ke arahku.
Tak
kuperdulikan, pun tak kuberi ia muka. Aku memasuki mobilku dengan kaku. Dia
menahan dengan tangannya ketika pintu mobil hendak ku tutup, membuatku harus
agak mendongak ke arah figur sempurnanya yang tinggi menjulang di samping
mobilku, menatapnya.
“Lena, gue kangen
sama lo” desahnya putus asa. Aku hanya menatapnya datar seolah dia hanya orang
bodoh yang bergumam tak jelas. Sungguh aku tak ingin seperti ini sebenarnya. Ku
remas pergelangan tangan kiriku yang masih tertutup wristband sambil memegang
daun pintu yang ia tahan. Masih perih. Sakit ini aku sendiri yang membuatnya.
Tapi menurutku harus dia yang bertanggung jawab.
Dengan
dingin, kutepis tangannya yang menahan pintu mobilku. Sengaja ku tutup dengan
suara keras. Mobilku berputar lantas melaju meninggalkan ia yang berdiri
menatap kepergianku dengan hampa, dengan aku yang menggigir bibir sembari
menahan tangis di dalamnya. cengeng.
***
“Lenaaaa,
ada telepon dari Egi!” kepala Reza menyembul dari balik pintu. Elena menoleh
malas.
“Bilangin Lena
lagi malas ngobrol, Kak.” Sahut Elena, lalu dia kembali menekuri buku yang
sedang ia baca di meja belajar. Angin dari jendela memainkan anak-anak rambut
di kening Elena yang tak ikut terikat kebelakang bersama rambut panjangnya.
“Ih kalian
itu kenapa sih? Kalau ada masalah bicarain baik-baik. Setau kakak, ini berantem
kalian yang paling lama semenjak kamu kenal sama Egi kan?”
“Kakak bawel
deh~” cetus Elena. Matanya tak berpaling dari buku yang sedang ia baca. Reza
terkekeh lalu mencubit pipi Elena dari belakang dengan gemas.
“Ih kakak,
apa-apaan sih!” Elena memberengut sebal, lalu berdiri dari posisinya. “Kakak
resek, syuh syuh pergi sana, pokoknya bilangin kalo Lena lagi malas ngobrol,
titik.” Elena mendorong punggung Reza keluar dari kamarnya. Reza masih
terkekeh.
“Tapi kakak
serius Len, kalau ada yang kamu butuhin mungkin kakak bisa bantu” Reza menatap Elena
dengan sayang sebelum keluar dari kamar adiknya tersebut.
Elena
menjulurkan lidahnya, “Kakak sok asik” lalu pintu kamar Elena tertutup di depan
Reza yang tertawa geli.
Sepeninggal
kakaknya, Elena kembali terpekur. Tapi bukan menekuri buku seperti yang tadi ia
lakukan di depan kakaknya. Tangannya meraih mouse komputer lantas mengetikkan
sesuatu.
Kakaknya
tadi benar, selama 4 tahun kenal Egi baru kali ini mereka benar-benar berantem
yang serius. Kata berantem rasanya tak cocok, karena sebenarnya Egi tak tau
(atau mungkin tak mau tau dan pura-pura tak tau) apa permasalahannya. Hanya Elena
yang menyimpannya dalam amarah dan sakit. Selama ini Elena cuma menghindar dari
Egi.
Elena
menelusuri kembali history panjang dari chatbox-nya dengan Egi dari 4 tahun
lalu. Thanks to virtual media yang tetap menyimpan semua secara rapi.
Egi adalah
nama istimewa. Egi adalah nama yang hanya dipake untuk Elena (dan atau untuk
seluruh keluarga Elena yang kenal dia). Gadis itu sebenarnya punya nama lain. Erika.
Nama tenarnya.
Selama
setahun pertama Elena tak pernah tau jika Egi yang selama ini ngobrol dengannya
di dunia virtual adalah bintang muda yang terkenal di luar sana. Dia cuma tau
jika Egi adalah teman ngobrol yang kocak. Mereka selalu punya dunia sendiri. Awalnya
mereka mencoba membuat grup, tapi lalu bubar karena percuma saja jika punya
grup tetapi mereka berdua mengacuhkan yang lain, tenggelam dalam dunia sendiri.
Betapa
kagetnya Elena setelah pertama kalinya Egi mengajak mereka ngobrol via skype. Egi
yang selama ini ngobrolin many stupid
things dengannya adalah sosok elegan yang selalu rajin hilir mudik di
televisi. Sedikit merasa dibohongi, tapi Elena kemudian tak pernah
mempermasalahkan. Dia tetap Egi. Erika hanya orang di luar sana tapi yang
sedang ngobrol dengannya adalah Egi, begitu yang selalu Elena dikte ke dirinya
sendiri.
Dua tahun
kenal mereka sama sekali belum pernah ketemu secara langsung. Hanya sms, chat
room dan skype yang menghubungkan mereka.
Lalu Elena
benar-benar mengenal Egi setelah mereka ternyata diterima kuliah di dalam satu
kampus yang sama meski beda Fakultas. Untuk pertama kalinya persahabatan mereka
terasa normal. Normal dalam artian mereka bisa ngobrol langsung, ngegosip di
kafe bareng atau sekedar jalan bareng.
Tapi
nampaknya Elena lupa, bahwa di dunia nyata sahabatnya ini adalah bintang yang
di puja. Erika, bukan Egi. Lama kenal Egi di dunia maya membuat Elena sadar
bahwa Erika tak cocok untuk jadi teman jalan-jalan. Dengan semua wartawan dan
rumor-rumor serta skandal yang di buat oleh tayangan infotainment yang ia lihat
di layar kaca.
Karena
itulah akhirnya Elena memutuskan untuk tak menampakkan dirinya di samping Erika.
Dunia Erika bukanlah tempatnya. Dia hanya sahabat Egi. Beruntung Egi mau
menerima keputusannya.
Meski begitu
tak ada yang berubah dari mereka. Chatbox selalu penuh tiap malam dengan
obrolan iseng. Egi tetap sahabat terbaik Elena.
Sepanjang
itulah lantas akhirnya Elena benar-benar mengenal Egi, atau begitu yang Elena
pikir. Egi bukan sosok manusia sempurna. Banyak hal-hal yang dilakukan Egi yang
kebetulan tak berkenan di hati Elena. Semakin kesini, Egi terasa sebagai
copy-cat. Egi mulai meniru-niru gaya bicara Elena jika ia sedang di layar kaca
sebagai Erika. Egi juga kerap mencomot kalimat-kalimat yang Elena ungkapkan.
Tapi Elena menerima semua itu. Dia percaya jika Egi orang baik, setidaknya itu
yang ia tau.
Hingga
kejadian sebulan yang lalu, Elena mulai menjauh dari Egi. Dia benar-benar
merasa di khianati. Elena menjauh, baik dari Egi atau Erika. Buat Elena kini
semua terlihat sama. Mungkin memang tak pernah ada Egi. Yang ada hanya Erika,
yang cantik, yang sempurna, yang di kagumi orang di layar kaca.
Elena
menelungkupkan kepalanya di meja. Haaahh~ dihelanya nafas yang menyumbat sakit
di dadanya. Rasanya dia menua lebih cepat. Dia seperti berkali-kali lipat lebih
tua dari umurnya yang seharusnya.
“Gi~ apa pembenaran
yang lo siapin atas sakit gue ini?” gumam Elena pelan. Embun di matanya mulai
menetes.
***
“Lenaaaa, gue muak jadi artis huhu” Egi berteriak padanya dari
seberang. Mereka sedang skype-an. Malam udah larut. Tapi Elena sengaja nungguin
hingga Egi selesai tapping syuting film terbarunya.
“Haha kenapa lagi kali ini? si mister lawan main lo itu masih
sibuk ngajakin lo jalan?” Elena menanggapi teriakan Egi sambil melahap mie
instan yang dia bikin tadi. Nungguin Egi selesai syuting tuh bikin laper. Asli.
“Iyaaaa, bete ngga seeeeh~” Egi membuat ekspresi aneh yang kocak. Elena
tertawa hingga tersedak.
“Hihihihi, gelooo.. coba ada wartawan yang ngeliat ekspresi lo
barusan. Gue jamin imej elegan Erika lo langsung hancur hahaha” ledek Elena. Egi
Cuma nyengir.
“Idih, sebodo amat sama wartawan, mereka aja ngga pernah peduliin
idup gue.. anyway, gue laper. Lo sih pake acara makan di depan gue hngh~” Egi
membuat wajahnya terlihat menyedihkan sambil melirik mangkuk mie instan yang di
pegang Elena.
“Lo kira nungguin lo online gini ngga bikin laper? Makan malam gue
tadi udah abis cuma buat nungguin lo doang nih, gimana gue bisa tumbuh kalo
nutrisi gue ludes buat energi nungguin lo mulu.”tukas Elena, dia tetap anteng
memakan mie rebusnya. Sesekali sembari berakting menggoda Egi.
“Lo enak ya Len, seberapapun elo makan ngga bakalan ngefek sama
berat badan lo. Gue keliatan chubby dikit aja udah diberitain heboh di media~”
keluh Egi sendu. Elena tercekat. Segera diletakannya mangkuk mienya dan meraih
gitar.
“Ngga cocok lo akting mellow gitu. Jelek tau” celetuk Elena.
Tangannya sibuk mengatur string gitar di tangannya. “Gue tadi sengaja nungguin
lo online buat ngasi liat ini..” kata Elena.
Egi tampak tertarik, “Apaan? Lo mau sok romantis lagi di depan
gue? Nyanyiin lagu siapa lagi kali ini? boleh deh buat pelepas bete gue gegara
bule jadi-jadian tadi, besok kalo gue ngampus gue kasi recehan buat lo hihihi”
“Ah sialan lo, Gi..”Elena mengerucutkan bibirnya dengan sebal “Ini
lagu ciptaan gue sendiri, cuma sehari Gi, hebat ngga nih gue muahahaha~” Elena
melanjutkan dengan bangga.
Egi mencibir. “Narsis..” ujarnya.
Elena tergelak, lalu tangannya mulai memainkan nada. “Lagu ini
buat lo, My Bestie Ever..” pelan Elena melantunkan lagu, Egi menyimak penuh
perhatian.
***
“Wah hebat sekali ya cewek satu ini, udah terkenal berbakat lagi.
Ngga cukup jadi pemain film kelas atas, dia masih juga mau menjajal dunia tarik
suara. Padahal umurnya masih muda. Kalo ngga salah se-Lena kayaknya ya Re..”
Sayup Elena yang baru saja masuk rumah mendengar celotehan mama
yang sedang menonton tayangan infotainmen siang. Di ruang tengah, Elena melihat
mama, Reza dan bahkan si mbak yang bantu-bantu mama di dapur, sedang asyik
melihat televisi. Cewek yang dikomentarin mama tadi adalah Erika. Erika yang
jadi Eginya.
“Ya gue ngerasa masih banyak yang harus gue pelajari, dan masih banyak hal-hal yang belum gue coba. Karena itulah, iseng sebenernya, gue upload video gue yang lagi nyanyi. Eh ternyata yang ngunjungin banyak banget, termasuk salah satu produser musik. Dari situ akhirnya gue dapet tawaran bikin single dari lagu milik gue yang gue upload iseng kemaren itu..”
Elena mengerutkan kening mendengar pernyataan itu. Sejak kapan Egi
suka musik? Kok dia ngga pernah cerita ya? Dan kapan Egi pernah bikin lagu?
Penasaran, Elena melewati mama dan kakaknya begitu saja. Dia
segera masuk ke kamarnya dan membuka akun Youtube milik Egi.
Jika dunia bisa hancur sekejab lalu bangun kembali, mungkin itu
yang sedang di rasakan Elena setelah membuka akun tersebut.
Lagu yang dibilang ‘Erika’ sebagai lagu iseng yang ia upload ke Youtube
adalah lagu milik Elena yang beberapa minggu lalu ia nyanyikan untuk Egi.
Lagunya. Miliknya.
Wth!
“ aku hanya ingin begini. tiada peduli. saatnya untuk diriku. Dunia yang melihatku”*
Lembut suara Egi melantun, tapi Elena telah luluh
dalam tangis. Tak pernah ia dikhianati sedemikian kejamnya.
***
Elena melakukan kebiasaannya, mampir di mading
Pedestrian milik UKM PersMa untuk sekedar baca-baca info menarik atau sms gokil
yang biasa dikirimkan anak-anak kampus ke rubrik “whatever”.
Sesuai nama rubriknya, isinya ya sms-sms ngga jelas tanpa alur yang bikin perut
kaku karena ketawa geli.
Lalu matanya menangkap artikel tersebut.
“Bintang Baru di Cyber Media, Erika Egidia Natanegara,
Segera Luncurkan Single Karyanya Sendiri”
“Artis Cantik, Erika Egidia Natanegara, Tetap Fokus
Dengan Kuliah Walau Jadwal Makin Padat Sebagai Penyanyi”
Uap panas berasa memenuhi ubun-ubun Elena.
Ditangguhkannya tangan yang gatal ingin merobek artikel yang terpampang di
sana. Bukan begini caranya. Tapi ini sudah keterlaluan. Elena merasa sedemikian
bodoh selama ini mempercayai seorang penghianat. Ah, mungkin lebih tepat
pencuri. Pencuri karya orang lain. Pencuri kalimat orang lain. Pencuri gaya
orang lain. Cih.
Elena ingin sekali melabrak Egi langsung,
mempermalukannya didepan umum. Tapi siapa yang hendak percaya nantinya? Memangnya
siapa Elena? Siapa Erika? Bukankah akan jadi sitkom terkonyol jika Elena
menyeret hal ini ke pengadilan? Sudahlah, lagi pula mengumbar amarah juga bukan
penyelesain terbaik. Diam dan pergi diam-diam. Elena memilihnya.
Sengaja Elena bersikap pura-pura tak tau. Tapi dia
juga sebenarnya enggan untuk berinteraksi lagi dengan Egi. Tanpa mengucapkan
apapun, Elena meninggalkan selasar tersebut. Sama seperti aksi diamnya dengan
meninggalkan Egi begitu saja. Malas rasanya untuk berdebat dengan artis pencuri.
***
Ping!
Satu pesan masuk ke dalam chatbox yang masih tetap
terbuka, ku angkat kepalaku dari atas meja karena kaget. Sepertinya aku tadi tertidur
sambil menangis. Ku usap sisa airmata yang ada, lalu kulihat sebuah pesan. Dari
Egi.
Tiba-tiba aku jadi badmood lagi. Tapi tetap saja pesannya kubaca.
“Jangan jauhi gue, please. Gue tunggu lo di skype,
skrg. T.T”
Malaaaasss, sumpah. Aku menjauhinya demi kebaikan
dirinya, demi kelangsungan kariernya juga, tapi kenapa dia bego banget malah
mengejarku? Jangan dikira karena aku ngga punya akun Youtube lantas aku ngga
tau apa yang dia lakukan, gitu? Duh. Dia waktu sekolah tuh pernah belajar ngga
sih? Apa dia itu termasuk kalangan artis yang sukses hanya karena modal cantik
tanpa otak? Gerutuanku tak kunjung usai.
Ping!
Satu pesan baru masuk.
“Len~ gue tau lo di sana. Gue tetep nungguin lo di
skype. Miss you.”
Haaaahhh~ aku menghela nafas yang super duper berat. Kak
Reza benar, bukan begini cara nyelesein masalah. Mungkin ada baiknya jika
marahku bisa tersalurkan. Setidaknya aku tak akan meledak dari dalam bukan?
Kupersiapkan diriku menghadapi segala sesuatunya. Ku buka
akunku. Dia sudah nyengir dalam feature video call. Separo dari amarahku luruh,
ya Tuhaaaan, betapa aku merindukan cengiran itu. Hampir menangis rasanya. Tapi kenapa
wajah yang sepolos itu tega menikam dari belakang?
“Hai~” sapanya pelan. Agaknya dia ragu hendak menyapa
dengan caranya yang biasa, teriakan khas.
Aku hanya mendengus. Dia menelan ludahnya dengan
kikuk. Kami sama-sama diam, bedanya dia diam karena bingung hendak memulai
sementara aku diam karena aku malas hendak memulai.
“Gue minta penjelasan, Len.” Dia memulai dengan ucapan
pelan. Aku sibuk membuang pandangan, motif pororo di bedcoverku terasa lebih
menarik daripada menatap wajah cantik orang yang dulunya sahabatku ini.
“Sebulanan ini, lo ngehindarin gue. Boleh gue tau apa
penyebabnya?” todongnya langsung.
Kutatap gambarnya yang terlihat bingung di seberang
sana, lalu kutumpahkan apa yang dari sebulan lalu menggelegak.
“Lo nyuri hasil karya gue, boleh gue tau kenapa?”
tuduhku tajam. Dia terkesiap, mukanya terlihat kaget. Tapi dia tak menjawab.
“M-mmak-sudnya, apa? Karya apa?”elaknya sedikit
bergetar.
Oh ya ampun. Aku tak habis pikir, dari mana dia bisa
dapatkan akting cewek smart dan kece dan oke selama ini? Apa jangan-jangan
memang semua artis tak pernah punya karakter pribadi? Duh menyedihkan sekali. Sudah
di depan mata saja dia masih mencoba mengeles. Benci.
“Gi, gue masih bingung sampe sekarang. Yang bego ini
gue ato lo? Jangan pura-pura gatau deh. Lagu lo itu punya gue kan? Gue yang
nyiptain itu buat lo, gue yang nyanyiin buat lo. Memangnya otak lo punya
penghapus di dalemnya yang bisa ngehilangin kenangan secara acak?” tak pelak,
kusembur ia dengan pedas.
Wajah inosen yang ada dihadapanku ini sama sekali tak
pantas untuk melakukan hal sekeji itu. Ini pencurian hak cipta, bukan lagi
plagiat. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Siapa yang hendak mempercayai jika
lagu tersebut adalah milikku? Cuma dia yang aku kasi liat. Oh, hell. Dengan frustasi
kuacak-acak meja belajarku sendiri.
Egi hanya menyaksikan tindakanku dengan wajah
ketakutan yang pucat pasi. Aku tak peduli. Bukan ini yang ingin aku dapatkan
dengan menerima video call darinya. Aku menginginkan perlawanan tapi dia
menyerahkan dirinya hidup-hidup seolah tak berdosa.
Tak sabar, kubuka laci di bawah meja belajarku. Tempat
di mana selama ini aku menyembunyikan silet yang kugunakan untuk melukai diriku
sendiri. Aku bukan psycho sebenarnya (itu menurutku) tapi aku tak punya cara
lain untuk mengurangi sakit atas penghianatan ini. Mungkin saja sakit fisik
bisa mengurangi apapun yang berdarah di dalam.
“Oke, lo ngga sepenuhnya salah Gi. Ini juga salah gue.
Salah gue, kenapa gue mau percaya dengan tulus. Salah gue, kenapa gue nganggep
lo orang berharga gue. Salah gue, kenapa gue ngasi liat lagu itu ke elo
sementara gue tau dalam kepala orang-orang entertain macam kalian itu cuma
penuh dengan segala hal yang berbau industri.” aku mulai membuka wristband yang
selama sebulan ini nangkring dengan setia di pergelangan tangan kiriku. Wajah Egi
makin pucat pasi. Luka-luka yang terukir di sana terlalu jelas untuk diabaikan.
“Len, lo mau apa? Len dengerin gue dulu. Len elo
jangan bertindak gila, berapa lama elo nyakitin diri lo sendiri kayak gitu?”
Egi jelas-jelas terlihat panik. Tapi aku memutuskan untuk tak mempercayai apa
yang kulihat. Wajah yang seperti itu di layar televisi menjamur setiap hari
dalam drama-drama murahan.
“Gue percaya sama lo itu pilihan. Dan itu hak pribadi.
Jadi inilah yang gue rasain dari apa yang udah gue pilih selama ini. Rasanya
kayak ngebuat luka dalam hati sendiri Gi. ” aku mulai menggaris-gariskan silet
ke tempat lain yang masih kosong dari luka di pergelangan tangan kiriku
sementara Egi udah panik gajelas di seberang sana. Dia ngapain sih? Ngga penting.
Aku cuma pengen Egi ngedenger apa yang aku omongin,
berhubung ngomongin semua ini ke Egi bakalan bikin aku hancur maka itu aku
sengaja nyakitin diri sendiri buat ngebikin aku tetep sadar dan konsentrasi. Sakit.
“Lo ngelakuin itu juga pilihan kan, Gi? Tapi kenapa
elo milih itu Gi? Kenapa lo jadi maling, Gi? KENAPA?” lagi aku mengguratkan
silet ke bagian kulit yang lain. Sakit. Sakit banget. Egi masih panik.
“Apa lo tau, bikin sesuatu, ngehasilin sesuatu itu
ngga mudah. Lo yang ngerintis karier dari bayi, harusnya paham betul yang kayak
gini. Tapi kenapa elo justru milih jadi maling?” airmataku mulai meleleh turun. Aku
tak bisa lagi menahannya. Tanganku tetap konstan membuat guratan-guratan warna
merah yang semakin dalam.
Egi lantas meledak. “CUKUP LENA!! CUKUP!”
“4 tahun sahabatan sama elo, gue ngga pernah tau kalo
lo ternyata ‘sakit’ kayak gini. Lo tuh gila. Ngapain lo nyakitin diri lo
sendiri kayak gitu. Lo tadi nanya, yang bego siapa? Sekarang gue bisa jawab,
yang bego itu elo. DAN STOP ELENA, STOP NGELUKAIN DIRI LO. DENGERIN GUE!!!”
Aku memasang wajah meremehkan, tangisku urung keluar. Bocah
ini ternyata punya nyali untuk melawan. Baguslah. Itu lebih baik daripada ngeliat
dia menyublim dalam kepasrahan kayak tadi.
“Gue baru mau ngejelasin apa yang pengen lo tau, tapi
lo udah buta duluan. Maling? Gue maling Len?” Egi mendenguskan hidungnya dengan
nada arogan. “ Lo bener, gue emang maling. Selama ini gue udah cukup ngedenger
yang kayak gitu seumur hidup gue dari banyak orang, penjiplak, plagiat. Wtf. Gue
ngga pernah ambil peduli. Seperti yang lo bilang tadi, gue punya pilihan. Dan gue
memilih kayak gini untuk jalan hidup gue. Selama gue bisa terus naik, ya kenapa
engga?” lanjut Egi, masih dengan nada arogan yang belum pernah aku dengar
sebelumnya.
“Tapi aku ngga butuh ngedenger hinaan itu juga dari
kamu, Len. ” Kali ini nada suara Egi terdengar luruh total. Pasrah dan tak
berdaya dengan adanya pemakaian aku-kamu, bukan lo-gue lagi.
“Aku memang ngga pernah bisa menghasilkan sesuatu, aku
hanya followers mainstream. Orang-orang di sekelilingku bilang aku ini The Invicible Thief.” Penjelasan Egi
diselingi dengan isak dalam. Aku sendiri masih belum tau kemana arah pengakuannya
ini akan berujung.
“Dengan mendengar itu semua dari kamu, satu-satunya
orang yang aku nyaman bahkan buat cerita hal-hal yang paling memalukan
sekalipun, rasanya seperti kecemplung di Antartik. Dingin dan membunuh.”
Aku masih diam, darah membasahi seluruh telapak tangan
kiriku tak ku perdulikan. Aku hanya menatap visualnya dari layar komputer dengan
kosong.
“Kamu selalu ngomongin tentang hati yang tulus,
kepercayaan, sementara yang aku punya cuma hati prematur yang cacat. Hatiku ngga
pernah bisa tumbuh sebesar hatimu Len, aku tau itu.”
“Aku ngga pernah bilang kalau lagu itu adalah lagu
ciptaanku, aku cuma bilang kalau lagu itu milikku. Kamu sendiri yang udah
ngasih lagu itu buat aku. Kamu bilang lagu itu buatku kan waktu kamu nyanyiin
itu? Sungguh aku tak pernah ingin mencuri apa yang kamu hasilkan, aku jujur ke
media bahwa aku iseng upload video rekaman diriku sendiri yang sedang
menyanyikan lagu itu, saat mereka menanyakan tentang lagu itu, aku benar kan
kalau aku bilang itu lagu ku. Lagu itu milikku. Pemberianmu. Aku masih ingat
jika kamu tak pernah mau disangkut pautkan dengan apapun dari diriku yang
sebagai Erika di luar sana. Karena itu aku sama sekali tak menyinggung namamu.”
Aku bengong mendengar pengakuan Egi. Speechless.
“Aku melakukan hal yang menurutku benar. Tapi aku
minta maaf jika ini membuatmu kecewa. Aku ngga mau kehilangan sahabat yang bisa
nerima aku dengan tulus kayak kamu, Len. Aku ngga bisa. Aku bakalan batalin
pernyataanku di media, aku bakalan batalin semua kontrak nyanyiku jika itu bisa
bikin kamu balik jadi sahabatku dan engga ngejauhin aku lagi” Egi mengakhirinya
dengan isak tangis. Aku pun larut. Ini sahabatku yang dulu, dia telah pulang.
Tangisku menetes ngga habis-habis.
“Dasar artis tolol..” Aku memakinya dalam kekehan.
Egi nyengir kembali dalam tangisnya.
“Elo pshyco gila~”sahutnya juga dalam kekehan.
“Cewek bego yang ngga ngerti hukum hak cipta~” aku
masih memakinya, tapi cengiran Egi makin lebar.
“Elo lebih bego karena ngehindarin cewek bego macam
gue~ kekekee” Egi membalas. Kami berdua terkekeh bersama-sama, lama.
“Gih buruan itu luka lo diobatin, dasar sarap. Psikopat.
” mata egi kembali melebar panik. Darah di pergelangan dan telapak tanganku
memang sudah mulai mengering.
Tiba-tiba aku sadar aku sedang terluka, tangisku
kembali pecah. Egi makin panik
.
“Lena, lo kenapa? Lo baik-baik aja? Panggil mama ato
kak Reza kalo sakit banget~ duh, gue ngga bisa ngapa-apain gini..”
Kedua ujung bibirku turun kebawah, mewek seperti anak
kecil “sakit~” keluhku seolah mengadu.
Egi terdiam sebentar, tapi lalu kembali pecah dalam
kekehan.
“Elena gila, sarap, bego..” Egi tau aku hanya
bercanda, aku pun menyambut gelaknya dalam tawa juga.
Seperti inilah persahabatan kami selama ini.
Masing-masing dari kami bukanlah orang yang sempurna, tapi kami bersyukur bahwa
dalam ketidaksempurnaan itu kami menemukan persahabatan yang sempurna.
fin. kkeut. the end.
cerpen ini adalah project iseng saya dengan sahabat saya, chip. inti dari projetc ini hanyalah dari sebuah ide dan konsep cerita yang sama, bisakah dibuat 2 cerita yang berbeda? dengan feel yang berbeda, dengan teknik yang berbeda, dengan gaya penulisan yang berbeda, lantas apakah pesan yang didapat nanti tetap sama?
awalnya saya hanya akan bikin drabble, namun dengan emosi yang dalam. kalau dalam penulisan fanfiction mungkin genrenya hurt/comfort. tapi ini hasilnya malah justru jadi cerpen yang lumayan agak kepanjangan xixixi. hasil yang chip tuliskan bisa temen-temen baca di link ini klik semoga ada manfaat yang bisa diambil dari cerita ini.^^
P.S = mohon maaf jika ada ketidak-nyambungan antara judul dan isi cerita serta banyaknya typo yang ada, oiya penggalan lagu itu hanyalah sepotong puisi saya :p
P.S.S = saya berusaha menuliskan cerita yang dramatis, tapi *sigh* kelemahan saya adalah tak bisa bikin cerita yang dramatis sehingga hanya seperti inilah hasil tulisan saya :p
P.S.S.S = maaf lagi jika saya narsis dan menuliskan nama saya sendiri sebagai tokoh :p *runs out*
P.S.S.S = maaf lagi jika saya narsis dan menuliskan nama saya sendiri sebagai tokoh :p *runs out*
kapan" baca ahh..
BalasHapussekarang belum sempet mba..
ayo segera di bukukan..hehehe:D