Jumat, 06 April 2012

[CERPEN] Elegi Elena


Elena menghabiskan sisa minumnya, lalu melirik handphone di tangan. Ada pesan masuk dari Egi.

Mama yang melihat tingkah  Elena sedikit mengernyitkan hidung, “Berapa kali mama bilang sih Len, jangan bawa handhone ke meja makan.” Cela mama tidak suka.

Elena menelungkupkan sendok dan garpu ke atas piring dengan rapi, “Lena kan udah selesai makan, Ma” jawabnya sembari nyengir. Dia melap mulutnya lalu bangkit dari kursi.

“Mah, Pah, Lena ke kamar duluan ya? Udah ada Egi di chat room” pamitnya singkat lalu pergi ke kamarnya di lantai atas. 

“Kalo aja Egi nih cowok, mungkin Reza gabakalan curiga Ma, tapi kan Egi ini cewek. Masa sampe segitunya sih temenan mereka? Kaya orang pacaran aja.” Reza, kakak cewek Elena bersungut kecil disela suapan makan malamnya.

“Hus ah~ kamu ini, mereka kan emang temenan baik. Kalo istilah mama waktu muda dulu, yang kaya gini nih namanya sahabat pena~” Sahut mama menanggapi, papa cuma senyum melihat kegusaran Reza.

***

Kulewati selasar kampus yang memasang majalah dinding besar di samping pintu UKM PersMa. Aku sudah pernah membaca apa yang tertulis di sana. Dulu sayang rasanya jika hanya untuk melewati, apa yang tertulis biasanya memuat informasi yang nyaman untuk dikonsumsi. Tapi hari-hari belakangan ini justru memuakkan jika aku harus berhenti untuk melihat artikel yang dipost di sana sementara aku tau satu artikel tentangnya selalu bisa dipastikan ada.

Nafas yang ku hela tiba-tiba sesak. Artikel itu masih ada di sana. Melalui sekilas mata, mau tak mau aku mencoba memastikannya. Lalu, begitu saja kulewati. Lukanya bertambah lagi.

Kubuka wristband tebal berwarna biru gelap di tangan kiri, garis-garis luka di pergelangannya masih setengah kering. Yang terakhir baru dua hari yang lalu. Kembali ku hela nafas berat, malam ini mungkin harus kutambah segaris lagi. Setengah menimbangkan, harus kubuat di atasnya ataukah di sisi yang lain?

Koridor mading tadi jauh terlewat di belakang, tapi sesaknya makin menusuk. Aku tak pernah tau jika luka bisa menguntit sejauh ini.

Memasuki kawasan parkir, sedikit berdoa, kubiarkan pandanganku menyapu semua mobil yang terparkir di sana. Semoga tak ada, semoga tak ada, semoga ada!

Aku sendiri tak tau kenapa doaku seperti itu. Jika dia tak ada mungkin tanganku akan meluluskan keinginan yang telah mengendap semenjak berminggu-minggu lalu untuk memberi baret di mobilnya, hanya untuk menunjukkan potret dari apa yang kualami. Yang di dalam ini.

Tapi dia ada. Dia selalu ada. Dia tau benar semua jadwalku. Kapan aku pulang atau kapan aku datang tiap pagi.

AD321KA

Sial. Aku tak mau melihat ke arah mobil itu sebenarnya. Plat nomor itu seolah representasi dari ketololanku. Tapi mataku berkhianat. Kulihat ia tersenyum dari balik kaca depannya yang bening, ku segerakan langkah. Aku malas jika dia mulai menggelayut lagi menyusulku, berat jika harus tersenyum di hadapannya.

“Len~” dia sudah di belakangku. Tak tau kapan dia keluar dari mobil mewahnya dan menyusul ke arahku.

Tak kuperdulikan, pun tak kuberi ia muka. Aku memasuki mobilku dengan kaku. Dia menahan dengan tangannya ketika pintu mobil hendak ku tutup, membuatku harus agak mendongak ke arah figur sempurnanya yang tinggi menjulang di samping mobilku, menatapnya.

“Lena, gue kangen sama lo” desahnya putus asa. Aku hanya menatapnya datar seolah dia hanya orang bodoh yang bergumam tak jelas. Sungguh aku tak ingin seperti ini sebenarnya. Ku remas pergelangan tangan kiriku yang masih tertutup wristband sambil memegang daun pintu yang ia tahan. Masih perih. Sakit ini aku sendiri yang membuatnya. Tapi menurutku harus dia yang bertanggung jawab.

Dengan dingin, kutepis tangannya yang menahan pintu mobilku. Sengaja ku tutup dengan suara keras. Mobilku berputar lantas melaju meninggalkan ia yang berdiri menatap kepergianku dengan hampa, dengan aku yang menggigir bibir sembari menahan tangis di dalamnya. cengeng.

***

“Lenaaaa, ada telepon dari Egi!” kepala Reza menyembul dari balik pintu. Elena menoleh malas.

“Bilangin Lena lagi malas ngobrol, Kak.” Sahut Elena, lalu dia kembali menekuri buku yang sedang ia baca di meja belajar. Angin dari jendela memainkan anak-anak rambut di kening Elena yang tak ikut terikat kebelakang bersama rambut panjangnya.

“Ih kalian itu kenapa sih? Kalau ada masalah bicarain baik-baik. Setau kakak, ini berantem kalian yang paling lama semenjak kamu kenal sama Egi kan?”

“Kakak bawel deh~” cetus Elena. Matanya tak berpaling dari buku yang sedang ia baca. Reza terkekeh lalu mencubit pipi Elena dari belakang dengan gemas.

“Ih kakak, apa-apaan sih!” Elena memberengut sebal, lalu berdiri dari posisinya. “Kakak resek, syuh syuh pergi sana, pokoknya bilangin kalo Lena lagi malas ngobrol, titik.” Elena mendorong punggung Reza keluar dari kamarnya. Reza masih terkekeh.

“Tapi kakak serius Len, kalau ada yang kamu butuhin mungkin kakak bisa bantu” Reza menatap Elena dengan sayang sebelum keluar dari kamar adiknya tersebut.

Elena menjulurkan lidahnya, “Kakak sok asik” lalu pintu kamar Elena tertutup di depan Reza yang tertawa geli. 

Sepeninggal kakaknya, Elena kembali terpekur. Tapi bukan menekuri buku seperti yang tadi ia lakukan di depan kakaknya. Tangannya meraih mouse komputer lantas mengetikkan sesuatu.

Kakaknya tadi benar, selama 4 tahun kenal Egi baru kali ini mereka benar-benar berantem yang serius. Kata berantem rasanya tak cocok, karena sebenarnya Egi tak tau (atau mungkin tak mau tau dan pura-pura tak tau) apa permasalahannya. Hanya Elena yang menyimpannya dalam amarah dan sakit. Selama ini Elena cuma menghindar dari Egi.

Elena menelusuri kembali history panjang dari chatbox-nya dengan Egi dari 4 tahun lalu. Thanks to virtual media yang tetap menyimpan semua secara rapi.

Egi adalah nama istimewa. Egi adalah nama yang hanya dipake untuk Elena (dan atau untuk seluruh keluarga Elena yang kenal dia). Gadis itu sebenarnya punya nama lain. Erika. Nama tenarnya.

Selama setahun pertama Elena tak pernah tau jika Egi yang selama ini ngobrol dengannya di dunia virtual adalah bintang muda yang terkenal di luar sana. Dia cuma tau jika Egi adalah teman ngobrol yang kocak. Mereka selalu punya dunia sendiri. Awalnya mereka mencoba membuat grup, tapi lalu bubar karena percuma saja jika punya grup tetapi mereka berdua mengacuhkan yang lain, tenggelam dalam dunia sendiri.

Betapa kagetnya Elena setelah pertama kalinya Egi mengajak mereka ngobrol via skype. Egi yang selama ini ngobrolin many stupid things dengannya adalah sosok elegan yang selalu rajin hilir mudik di televisi. Sedikit merasa dibohongi, tapi Elena kemudian tak pernah mempermasalahkan. Dia tetap Egi. Erika hanya orang di luar sana tapi yang sedang ngobrol dengannya adalah Egi, begitu yang selalu Elena dikte ke dirinya sendiri.

Dua tahun kenal mereka sama sekali belum pernah ketemu secara langsung. Hanya sms, chat room dan skype yang menghubungkan mereka. 

Lalu Elena benar-benar mengenal Egi setelah mereka ternyata diterima kuliah di dalam satu kampus yang sama meski beda Fakultas. Untuk pertama kalinya persahabatan mereka terasa normal. Normal dalam artian mereka bisa ngobrol langsung, ngegosip di kafe bareng atau sekedar jalan bareng.

Tapi nampaknya Elena lupa, bahwa di dunia nyata sahabatnya ini adalah bintang yang di puja. Erika, bukan Egi. Lama kenal Egi di dunia maya membuat Elena sadar bahwa Erika tak cocok untuk jadi teman jalan-jalan. Dengan semua wartawan dan rumor-rumor serta skandal yang di buat oleh tayangan infotainment yang ia lihat di layar kaca.

Karena itulah akhirnya Elena memutuskan untuk tak menampakkan dirinya di samping Erika. Dunia Erika bukanlah tempatnya. Dia hanya sahabat Egi. Beruntung Egi mau menerima keputusannya.

Meski begitu tak ada yang berubah dari mereka. Chatbox selalu penuh tiap malam dengan obrolan iseng. Egi tetap sahabat terbaik Elena.

Sepanjang itulah lantas akhirnya Elena benar-benar mengenal Egi, atau begitu yang Elena pikir. Egi bukan sosok manusia sempurna. Banyak hal-hal yang dilakukan Egi yang kebetulan tak berkenan di hati Elena. Semakin kesini, Egi terasa sebagai copy-cat. Egi mulai meniru-niru gaya bicara Elena jika ia sedang di layar kaca sebagai Erika. Egi juga kerap mencomot kalimat-kalimat yang Elena ungkapkan. Tapi Elena menerima semua itu. Dia percaya jika Egi orang baik, setidaknya itu yang ia tau.

Hingga kejadian sebulan yang lalu, Elena mulai menjauh dari Egi. Dia benar-benar merasa di khianati. Elena menjauh, baik dari Egi atau Erika. Buat Elena kini semua terlihat sama. Mungkin memang tak pernah ada Egi. Yang ada hanya Erika, yang cantik, yang sempurna, yang di kagumi orang di layar kaca.

Elena menelungkupkan kepalanya di meja. Haaahh~ dihelanya nafas yang menyumbat sakit di dadanya. Rasanya dia menua lebih cepat. Dia seperti berkali-kali lipat lebih tua dari umurnya yang seharusnya.

“Gi~ apa pembenaran yang lo siapin atas sakit gue ini?” gumam Elena pelan. Embun di matanya mulai menetes.

***

“Lenaaaa, gue muak jadi artis huhu” Egi berteriak padanya dari seberang. Mereka sedang skype-an. Malam udah larut. Tapi Elena sengaja nungguin hingga Egi selesai tapping syuting film terbarunya.

“Haha kenapa lagi kali ini? si mister lawan main lo itu masih sibuk ngajakin lo jalan?” Elena menanggapi teriakan Egi sambil melahap mie instan yang dia bikin tadi. Nungguin Egi selesai syuting tuh bikin laper. Asli.

“Iyaaaa, bete ngga seeeeh~” Egi membuat ekspresi aneh yang kocak. Elena tertawa hingga tersedak.

“Hihihihi, gelooo.. coba ada wartawan yang ngeliat ekspresi lo barusan. Gue jamin imej elegan Erika lo langsung hancur hahaha” ledek Elena. Egi Cuma nyengir.

“Idih, sebodo amat sama wartawan, mereka aja ngga pernah peduliin idup gue.. anyway, gue laper. Lo sih pake acara makan di depan gue hngh~” Egi membuat wajahnya terlihat menyedihkan sambil melirik mangkuk mie instan yang di pegang Elena.

“Lo kira nungguin lo online gini ngga bikin laper? Makan malam gue tadi udah abis cuma buat nungguin lo doang nih, gimana gue bisa tumbuh kalo nutrisi gue ludes buat energi nungguin lo mulu.”tukas Elena, dia tetap anteng memakan mie rebusnya. Sesekali sembari berakting menggoda Egi.

“Lo enak ya Len, seberapapun elo makan ngga bakalan ngefek sama berat badan lo. Gue keliatan chubby dikit aja udah diberitain heboh di media~” keluh Egi sendu. Elena tercekat. Segera diletakannya mangkuk mienya dan meraih gitar.

“Ngga cocok lo akting mellow gitu. Jelek tau” celetuk Elena. Tangannya sibuk mengatur string gitar di tangannya. “Gue tadi sengaja nungguin lo online buat ngasi liat ini..” kata Elena.

Egi tampak tertarik, “Apaan? Lo mau sok romantis lagi di depan gue? Nyanyiin lagu siapa lagi kali ini? boleh deh buat pelepas bete gue gegara bule jadi-jadian tadi, besok kalo gue ngampus gue kasi recehan buat lo hihihi”

“Ah sialan lo, Gi..”Elena mengerucutkan bibirnya dengan sebal “Ini lagu ciptaan gue sendiri, cuma sehari Gi, hebat ngga nih gue muahahaha~” Elena melanjutkan dengan bangga.

Egi mencibir. “Narsis..” ujarnya.

Elena tergelak, lalu tangannya mulai memainkan nada. “Lagu ini buat lo, My Bestie Ever..” pelan Elena melantunkan lagu, Egi menyimak penuh perhatian.

***

“Wah hebat sekali ya cewek satu ini, udah terkenal berbakat lagi. Ngga cukup jadi pemain film kelas atas, dia masih juga mau menjajal dunia tarik suara. Padahal umurnya masih muda. Kalo ngga salah se-Lena kayaknya ya Re..” 

Sayup Elena yang baru saja masuk rumah mendengar celotehan mama yang sedang menonton tayangan infotainmen siang. Di ruang tengah, Elena melihat mama, Reza dan bahkan si mbak yang bantu-bantu mama di dapur, sedang asyik melihat televisi. Cewek yang dikomentarin mama tadi adalah Erika. Erika yang jadi Eginya.
Ya gue ngerasa masih banyak yang harus gue pelajari, dan masih banyak hal-hal yang belum gue coba. Karena itulah, iseng sebenernya, gue upload video gue yang lagi nyanyi. Eh ternyata yang ngunjungin banyak banget, termasuk salah satu produser musik. Dari situ akhirnya gue dapet tawaran bikin single dari lagu milik gue yang gue upload iseng kemaren itu..”
Elena mengerutkan kening mendengar pernyataan itu. Sejak kapan Egi suka musik? Kok dia ngga pernah cerita ya? Dan kapan Egi pernah bikin lagu?

Penasaran, Elena melewati mama dan kakaknya begitu saja. Dia segera masuk ke kamarnya dan membuka akun Youtube milik Egi.

Jika dunia bisa hancur sekejab lalu bangun kembali, mungkin itu yang sedang di rasakan Elena setelah membuka akun tersebut.

Lagu yang dibilang ‘Erika’ sebagai lagu iseng yang ia upload ke Youtube adalah lagu milik Elena yang beberapa minggu lalu ia nyanyikan untuk Egi. Lagunya. Miliknya.
Wth!

aku hanya ingin begini. tiada peduli. saatnya untuk diriku. Dunia yang melihatku*

Lembut suara Egi melantun, tapi Elena telah luluh dalam tangis. Tak pernah ia dikhianati sedemikian kejamnya.
***

Elena melakukan kebiasaannya, mampir di mading Pedestrian milik UKM PersMa untuk sekedar baca-baca info menarik atau sms gokil yang biasa dikirimkan anak-anak kampus ke rubrik “whatever”. Sesuai nama rubriknya, isinya ya sms-sms ngga jelas tanpa alur yang bikin perut kaku karena ketawa geli.
Lalu matanya menangkap artikel tersebut. 

“Bintang Baru di Cyber Media, Erika Egidia Natanegara, Segera Luncurkan Single Karyanya Sendiri”
“Artis Cantik, Erika Egidia Natanegara, Tetap Fokus Dengan Kuliah Walau Jadwal Makin Padat Sebagai Penyanyi”

Uap panas berasa memenuhi ubun-ubun Elena. Ditangguhkannya tangan yang gatal ingin merobek artikel yang terpampang di sana. Bukan begini caranya. Tapi ini sudah keterlaluan. Elena merasa sedemikian bodoh selama ini mempercayai seorang penghianat. Ah, mungkin lebih tepat pencuri. Pencuri karya orang lain. Pencuri kalimat orang lain. Pencuri gaya orang lain. Cih.

Elena ingin sekali melabrak Egi langsung, mempermalukannya didepan umum. Tapi siapa yang hendak percaya nantinya? Memangnya siapa Elena? Siapa Erika? Bukankah akan jadi sitkom terkonyol jika Elena menyeret hal ini ke pengadilan? Sudahlah, lagi pula mengumbar amarah juga bukan penyelesain terbaik. Diam dan pergi diam-diam. Elena memilihnya.

Sengaja Elena bersikap pura-pura tak tau. Tapi dia juga sebenarnya enggan untuk berinteraksi lagi dengan Egi. Tanpa mengucapkan apapun, Elena meninggalkan selasar tersebut. Sama seperti aksi diamnya dengan meninggalkan Egi begitu saja. Malas rasanya untuk berdebat dengan artis pencuri.
***
Ping!
Satu pesan masuk ke dalam chatbox yang masih tetap terbuka, ku angkat kepalaku dari atas meja karena kaget. Sepertinya aku tadi tertidur sambil menangis. Ku usap sisa airmata yang ada, lalu kulihat sebuah pesan. Dari Egi.
Tiba-tiba aku jadi badmood lagi. Tapi tetap saja pesannya kubaca.

“Jangan jauhi gue, please. Gue tunggu lo di skype, skrg. T.T”

Malaaaasss, sumpah. Aku menjauhinya demi kebaikan dirinya, demi kelangsungan kariernya juga, tapi kenapa dia bego banget malah mengejarku? Jangan dikira karena aku ngga punya akun Youtube lantas aku ngga tau apa yang dia lakukan, gitu? Duh. Dia waktu sekolah tuh pernah belajar ngga sih? Apa dia itu termasuk kalangan artis yang sukses hanya karena modal cantik tanpa otak? Gerutuanku tak kunjung usai.

Ping!

Satu pesan baru masuk.

“Len~ gue tau lo di sana. Gue tetep nungguin lo di skype. Miss you.”

Haaaahhh~ aku menghela nafas yang super duper berat. Kak Reza benar, bukan begini cara nyelesein masalah. Mungkin ada baiknya jika marahku bisa tersalurkan. Setidaknya aku tak akan meledak dari dalam bukan?

Kupersiapkan diriku menghadapi segala sesuatunya. Ku buka akunku. Dia sudah nyengir dalam feature video call. Separo dari amarahku luruh, ya Tuhaaaan, betapa aku merindukan cengiran itu. Hampir menangis rasanya. Tapi kenapa wajah yang sepolos itu tega menikam dari belakang?

“Hai~” sapanya pelan. Agaknya dia ragu hendak menyapa dengan caranya yang biasa, teriakan khas.

Aku hanya mendengus. Dia menelan ludahnya dengan kikuk. Kami sama-sama diam, bedanya dia diam karena bingung hendak memulai sementara aku diam karena aku malas hendak memulai.

“Gue minta penjelasan, Len.” Dia memulai dengan ucapan pelan. Aku sibuk membuang pandangan, motif pororo di bedcoverku terasa lebih menarik daripada menatap wajah cantik orang yang dulunya sahabatku ini.

“Sebulanan ini, lo ngehindarin gue. Boleh gue tau apa penyebabnya?” todongnya langsung.

Kutatap gambarnya yang terlihat bingung di seberang sana, lalu kutumpahkan apa yang dari sebulan lalu menggelegak.

“Lo nyuri hasil karya gue, boleh gue tau kenapa?” tuduhku tajam. Dia terkesiap, mukanya terlihat kaget. Tapi dia tak menjawab.

“M-mmak-sudnya, apa? Karya apa?”elaknya sedikit bergetar.

Oh ya ampun. Aku tak habis pikir, dari mana dia bisa dapatkan akting cewek smart dan kece dan oke selama ini? Apa jangan-jangan memang semua artis tak pernah punya karakter pribadi? Duh menyedihkan sekali. Sudah di depan mata saja dia masih mencoba mengeles. Benci.

“Gi, gue masih bingung sampe sekarang. Yang bego ini gue ato lo? Jangan pura-pura gatau deh. Lagu lo itu punya gue kan? Gue yang nyiptain itu buat lo, gue yang nyanyiin buat lo. Memangnya otak lo punya penghapus di dalemnya yang bisa ngehilangin kenangan secara acak?” tak pelak, kusembur ia dengan pedas. 

Wajah inosen yang ada dihadapanku ini sama sekali tak pantas untuk melakukan hal sekeji itu. Ini pencurian hak cipta, bukan lagi plagiat. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Siapa yang hendak mempercayai jika lagu tersebut adalah milikku? Cuma dia yang aku kasi liat. Oh, hell. Dengan frustasi kuacak-acak meja belajarku sendiri.

Egi hanya menyaksikan tindakanku dengan wajah ketakutan yang pucat pasi. Aku tak peduli. Bukan ini yang ingin aku dapatkan dengan menerima video call darinya. Aku menginginkan perlawanan tapi dia menyerahkan dirinya hidup-hidup seolah tak berdosa.

Tak sabar, kubuka laci di bawah meja belajarku. Tempat di mana selama ini aku menyembunyikan silet yang kugunakan untuk melukai diriku sendiri. Aku bukan psycho sebenarnya (itu menurutku) tapi aku tak punya cara lain untuk mengurangi sakit atas penghianatan ini. Mungkin saja sakit fisik bisa mengurangi apapun yang berdarah di dalam.

“Oke, lo ngga sepenuhnya salah Gi. Ini juga salah gue. Salah gue, kenapa gue mau percaya dengan tulus. Salah gue, kenapa gue nganggep lo orang berharga gue. Salah gue, kenapa gue ngasi liat lagu itu ke elo sementara gue tau dalam kepala orang-orang entertain macam kalian itu cuma penuh dengan segala hal yang berbau industri.” aku mulai membuka wristband yang selama sebulan ini nangkring dengan setia di pergelangan tangan kiriku. Wajah Egi makin pucat pasi. Luka-luka yang terukir di sana terlalu jelas untuk diabaikan.

“Len, lo mau apa? Len dengerin gue dulu. Len elo jangan bertindak gila, berapa lama elo nyakitin diri lo sendiri kayak gitu?” Egi jelas-jelas terlihat panik. Tapi aku memutuskan untuk tak mempercayai apa yang kulihat. Wajah yang seperti itu di layar televisi menjamur setiap hari dalam drama-drama murahan.

“Gue percaya sama lo itu pilihan. Dan itu hak pribadi. Jadi inilah yang gue rasain dari apa yang udah gue pilih selama ini. Rasanya kayak ngebuat luka dalam hati sendiri Gi. ” aku mulai menggaris-gariskan silet ke tempat lain yang masih kosong dari luka di pergelangan tangan kiriku sementara Egi udah panik gajelas di seberang sana. Dia ngapain sih? Ngga penting.

Aku cuma pengen Egi ngedenger apa yang aku omongin, berhubung ngomongin semua ini ke Egi bakalan bikin aku hancur maka itu aku sengaja nyakitin diri sendiri buat ngebikin aku tetep sadar dan konsentrasi. Sakit.

“Lo ngelakuin itu juga pilihan kan, Gi? Tapi kenapa elo milih itu Gi? Kenapa lo jadi maling, Gi? KENAPA?” lagi aku mengguratkan silet ke bagian kulit yang lain. Sakit. Sakit banget. Egi masih panik.

“Apa lo tau, bikin sesuatu, ngehasilin sesuatu itu ngga mudah. Lo yang ngerintis karier dari bayi, harusnya paham betul yang kayak gini. Tapi kenapa elo justru milih jadi maling?” airmataku mulai meleleh turun. Aku tak bisa lagi menahannya. Tanganku tetap konstan membuat guratan-guratan warna merah yang semakin dalam.

Egi lantas meledak. “CUKUP LENA!! CUKUP!”

“4 tahun sahabatan sama elo, gue ngga pernah tau kalo lo ternyata ‘sakit’ kayak gini. Lo tuh gila. Ngapain lo nyakitin diri lo sendiri kayak gitu. Lo tadi nanya, yang bego siapa? Sekarang gue bisa jawab, yang bego itu elo. DAN STOP ELENA, STOP NGELUKAIN DIRI LO. DENGERIN GUE!!!”

Aku memasang wajah meremehkan, tangisku urung keluar. Bocah ini ternyata punya nyali untuk melawan. Baguslah. Itu lebih baik daripada ngeliat dia menyublim dalam kepasrahan kayak tadi.

“Gue baru mau ngejelasin apa yang pengen lo tau, tapi lo udah buta duluan. Maling? Gue maling Len?” Egi mendenguskan hidungnya dengan nada arogan. “ Lo bener, gue emang maling. Selama ini gue udah cukup ngedenger yang kayak gitu seumur hidup gue dari banyak orang, penjiplak, plagiat. Wtf. Gue ngga pernah ambil peduli. Seperti yang lo bilang tadi, gue punya pilihan. Dan gue memilih kayak gini untuk jalan hidup gue. Selama gue bisa terus naik, ya kenapa engga?” lanjut Egi, masih dengan nada arogan yang belum pernah aku dengar sebelumnya.

“Tapi aku ngga butuh ngedenger hinaan itu juga dari kamu, Len. ” Kali ini nada suara Egi terdengar luruh total. Pasrah dan tak berdaya dengan adanya pemakaian aku-kamu, bukan lo-gue lagi.

“Aku memang ngga pernah bisa menghasilkan sesuatu, aku hanya followers mainstream. Orang-orang di sekelilingku bilang aku ini The Invicible Thief.” Penjelasan Egi diselingi dengan isak dalam. Aku sendiri masih belum tau kemana arah pengakuannya ini akan berujung.

“Dengan mendengar itu semua dari kamu, satu-satunya orang yang aku nyaman bahkan buat cerita hal-hal yang paling memalukan sekalipun, rasanya seperti kecemplung di Antartik. Dingin dan membunuh.”

Aku masih diam, darah membasahi seluruh telapak tangan kiriku tak ku perdulikan. Aku hanya menatap visualnya dari layar komputer dengan kosong.

“Kamu selalu ngomongin tentang hati yang tulus, kepercayaan, sementara yang aku punya cuma hati prematur yang cacat. Hatiku ngga pernah bisa tumbuh sebesar hatimu Len, aku tau itu.”

“Aku ngga pernah bilang kalau lagu itu adalah lagu ciptaanku, aku cuma bilang kalau lagu itu milikku. Kamu sendiri yang udah ngasih lagu itu buat aku. Kamu bilang lagu itu buatku kan waktu kamu nyanyiin itu? Sungguh aku tak pernah ingin mencuri apa yang kamu hasilkan, aku jujur ke media bahwa aku iseng upload video rekaman diriku sendiri yang sedang menyanyikan lagu itu, saat mereka menanyakan tentang lagu itu, aku benar kan kalau aku bilang itu lagu ku. Lagu itu milikku. Pemberianmu. Aku masih ingat jika kamu tak pernah mau disangkut pautkan dengan apapun dari diriku yang sebagai Erika di luar sana. Karena itu aku sama sekali tak menyinggung namamu.”

Aku bengong mendengar pengakuan Egi. Speechless.

“Aku melakukan hal yang menurutku benar. Tapi aku minta maaf jika ini membuatmu kecewa. Aku ngga mau kehilangan sahabat yang bisa nerima aku dengan tulus kayak kamu, Len. Aku ngga bisa. Aku bakalan batalin pernyataanku di media, aku bakalan batalin semua kontrak nyanyiku jika itu bisa bikin kamu balik jadi sahabatku dan engga ngejauhin aku lagi” Egi mengakhirinya dengan isak tangis. Aku pun larut. Ini sahabatku yang dulu, dia telah pulang. Tangisku menetes ngga habis-habis.

“Dasar artis tolol..” Aku memakinya dalam kekehan.

Egi nyengir kembali dalam tangisnya.

“Elo pshyco gila~”sahutnya juga dalam kekehan.

“Cewek bego yang ngga ngerti hukum hak cipta~” aku masih memakinya, tapi cengiran Egi makin lebar.

“Elo lebih bego karena ngehindarin cewek bego macam gue~ kekekee” Egi membalas. Kami berdua terkekeh bersama-sama, lama.

“Gih buruan itu luka lo diobatin, dasar sarap. Psikopat. ” mata egi kembali melebar panik. Darah di pergelangan dan telapak tanganku memang sudah mulai mengering.

Tiba-tiba aku sadar aku sedang terluka, tangisku kembali pecah. Egi makin panik
.
“Lena, lo kenapa? Lo baik-baik aja? Panggil mama ato kak Reza kalo sakit banget~ duh, gue ngga bisa ngapa-apain gini..”

Kedua ujung bibirku turun kebawah, mewek seperti anak kecil “sakit~” keluhku seolah mengadu.

Egi terdiam sebentar, tapi lalu kembali pecah dalam kekehan.
“Elena gila, sarap, bego..” Egi tau aku hanya bercanda, aku pun menyambut gelaknya dalam tawa juga.

Seperti inilah persahabatan kami selama ini. Masing-masing dari kami bukanlah orang yang sempurna, tapi kami bersyukur bahwa dalam ketidaksempurnaan itu kami menemukan persahabatan yang sempurna.

 fin. kkeut. the end.


cerpen ini adalah project iseng saya dengan sahabat saya, chip. inti dari projetc ini hanyalah dari sebuah ide dan konsep cerita yang sama, bisakah dibuat 2 cerita yang berbeda? dengan feel yang berbeda, dengan teknik yang berbeda, dengan gaya penulisan yang berbeda, lantas apakah pesan yang didapat nanti tetap sama?

awalnya saya hanya akan bikin drabble, namun dengan emosi yang dalam. kalau dalam penulisan fanfiction mungkin genrenya hurt/comfort. tapi ini hasilnya malah justru jadi cerpen yang lumayan agak kepanjangan xixixi. hasil yang chip tuliskan bisa temen-temen baca di link ini klik semoga ada manfaat yang bisa diambil dari cerita ini.^^


P.S =  mohon maaf jika ada ketidak-nyambungan antara judul dan isi cerita serta banyaknya typo yang ada, oiya penggalan lagu itu hanyalah sepotong puisi saya :p
P.S.S = saya berusaha menuliskan cerita yang dramatis, tapi *sigh* kelemahan saya adalah tak bisa  bikin cerita yang dramatis sehingga hanya seperti inilah hasil tulisan saya :p
P.S.S.S =  maaf lagi jika saya narsis dan menuliskan nama saya sendiri sebagai tokoh :p *runs out*

1 komentar:

  1. kapan" baca ahh..
    sekarang belum sempet mba..
    ayo segera di bukukan..hehehe:D

    BalasHapus