Jumat, 13 April 2012

[CERPEN] KITA


Bruk!  

“Aduh!” aku memekik tertahan.

Buku-buku tebal yang sedang kupeluk jatuh berhamburan, folder plastik warna hitam yang tadinya kutenteng dan penuh berisi lembaran-lembaran kertas pun terpelanting. Isinya berserakan. Aku tersandung kakiku sendiri, tali sneakersku terlepas dan terinjak.  Aku sendiri tersungkur dalam posisi lutut menyentuh lantai terlebih dahulu.

Beberapa mahasiswa yang kebetulan melewati koridor tempatku terjatuh, berinisiatif membantuku mengumpulkan semua barang-barangku yang berceceran. Aku membeku dalam posisiku, dengan muka yang hampir menangis. Aku benci hari ini, sungguh.

Suaraku seperti orang tercekik ketika mengucapkan terima kasih pada beberapa orang yang membantuku bangun dan menata barang-barangku tadi, tangisku hampir meledak. Hari ini benar-benar melelahkan. 

Dua dosen pembimbing mencela penuh bab terakhir dari skripsiku. Aku dibantai habis-habisan tanpa adanya satupun perlindungan. Dengan kepala berkunang-kunang hasil dari dua malam tak tidur dan perut yang melilit lapar, kuredam amarah dan emosiku penuh perjuangan. Mungkin beliau-beliau tadi juga melihat ekspresiku yang hampir seperti mayat hidup, setelah 4 jam mendengarkan semua celaan tentang hasil kerjaku, akhirnya aku dibebaskan dengan syarat yang tak tanggung-tanggung. Aku dioleh-olehi 5 buku teks dan 1 referensi umum untuk memperbaikinya. Dan itulah yang akhirnya terjadi, dikarenakan sibuk memeluk buku-buku yang saking tebalnya hingga bisa dipake sebagai bantal, aku tak sempat memeriksa tali sepatuku. Salah satu kecerobohan abadi yang kuderita. Dulu Tika yang selalu~ ah, kenapa aku jadi mengingat dia? Aku semakin merasa nelangsa. Menyedihkan sekali.

Aku tersentak saat kurasakan seseorang meraih kakiku, Tika berlutut di depanku yang masih duduk berselonjor di lantai. Dia mengikatkan tali sepatuku dengan sabar. Tangisku terasa hendak jebol lagi.

“Lain kali kalau terburu-buru, pake sepatu flat tanpa tali aja ya~” ucapnya lembut. Dia menatapku dalam, tangannya masih sibuk menyimpul tali sepatuku. Yang terlihat dari mataku hanya hinaan. Dia mungkin menertawakan kemalanganku sekarang.

Kutahan dengan sekuat tenaga airmata yang hendak tumpah, kutepis tangan Tika dengan kasar lalu aku bangkit berdiri. Aku tak butuh dia. Dengan cepat kubalikkan badan berjalan menjauhinya yang masih termangu dengan posisi berlutut. Aku tau dia amat sakit hati dengan tindakanku ini, tapi aku tak peduli. Airmataku sudah berlinang-linang, beruntung dia tak sempat melihatnya.

Aku benci Tika! Benci semuanya! Benci!

***

Tika mendapat sodoran gulungan kertas kecil dari cewek yang duduk di sebelah kursinya. Sambil menguap pelan, Tika membaca tulisan yag ada di dalamnya.

Gue tau lo empet banget ngeliat muka profesor satu ini. xixixi~ ‘ngobrol’ yuuuukk!  :p

Tika mendongak dari kertas yang ia baca, lantas nyengir setuju ke arah Febi yang duduk selisih 2 baris kursi ke depan dari bangkunya. Febi sendiri mengedipkan sebelah matanya pada Tika lantas menjulurkan lidah ke arah Prof. Jimmy yang sibuk dengan buku teksnya di depan kelas. Tika menahan kikik geli. Memang yang berani iseng di Kelas Prof. Jimmy cuma Febi. Dan yang di maksud ngobrol di sini adalah saling menulis dan berkirim sesobek kertas kecil yang dioper melalui temen-temen di sela mereka. Prof. Jimmy selalu menyuruh mahasiswanya duduk berdasarkan nomor urut absen, kuno banget ngga seeeh~ berasa anak TK deh *keluh* karena itulah Tika dan Febi ngga pernah bisa duduk sebelahan kayak mata kuliah yang lainnya.

Secepat kilat Tika membalas di bawah tulisan tangan Febi.
Kok lo tau seh Bibeh? Yoa, tul bgt! Jidat jenongnya yang licin udah ngalahin lapangan Golep lebarnya mamennn~ silau. Bikin gue makin ngantuk. Hoaaahmm :3

Beberapa teman yang jadi ‘operator pesan’ suka ikutan baca apa yang diobrolin Febi sama Tika. Alhasil kelas yang hening tersebut jadi menyebarkan beberapa kikik tersembunyi dan dengusan tawa yang tertahan. Sisa kertas yang dioper dari dan ke mereka berdua biasanya langsung menyebar ke seluruh penjuru kelas.

Cluk!

 Maaaaak~ ups. Tika buru-buru membungkam mulutnya yang hampir berteriak kaget. Rani yang duduk di sebelah Tika tak sengaja mencolek pinggangnya untuk mengoperkan surat balasan dari Febi. Tika mengambil surat dari tangan Rani dengan sebal. Seluruh kelas suka mendadak lupa kalo Tika ini nggak pernah tahan geli jika di colek-colek. Rani mengucapkan maaf tanpa suara dengan wajah polos yang bikin Tika semakin yakin kalo tadi Rani emang sengaja mencoleknya. Erhg!

Ketauan kok dari muka lo yang makin jelek kalo lagi empet gitu, wk wk wk. Doh, jidat jenongnya si Profesor bikin gue ellllaaaaperrrrr. Rawr. Mirip sama Roti Boy rasa kopi kesukaan gue sih hng~ creamy, bulet, dan mengkilat, nyumm nyumm :9 

Tika meledak dalam tawa tanpa suara. Perutnya terbungkuk kaku menahan geli. Dia menelungkupkan badannya ke depan dengan kursi yang bergetar. Sumpah, Febi gila. Beberapa teman yang melihat ekspresi Tika melirik dengan penasaran, kira-kira apa yang udah di tulis Febi hingga Tika ngga bisa nahan tawanya. Tangan Tika mengoper surat dari Febi tadi ke Luki yang duduk menyerong di barisan tepat di depannya. Lantas kembali larut dalam tawa tanpa suara. Airmatanya sampai ngalir saking gelinya.

Tak berapa lama seluruh kelas larut dalam kasak-kusuk. Bisa dipastikan seluruh kelas saat ini sedang sibuk mencari cara agar tawa mereka tak terdengar ke telinga Prof. Jimmy yang super peka.

Muka lo tuh yang sering mirip tuyul kalo lagi usil. Wuu~  Tika membalas tulisan Febi.

 Iya deh yang Jin Botol, suka sirik yee sama tuyul kece macem gue XD  cepat Febi menulis kembali.

Ih, siapa bilang Jin Botol? Gue itu Nade, Satanik Smart yang jadi incaran semua hantu pria howhowhoww~ Tika menukas dalam surat balasannya untuk Febi. Nade, Naydeline adalah salah satu tokoh utama dari novel fantasi karya Tika.

Febi mendengus sebelum menulis dengan kilat.
Oyah? Buat gue, lo itu Classy. Dasar Tissue Toilet wkwkwk

Tika setengah mati menahan tawanya. Febi ini benar-benar deh. Classy juga tokoh di dalam novel fantasi milik Tika. Classy itu calon penulis yang mati muda, hingga di alam hantu ia tetap menyesali kematiannya dan menangis tersedu-sedu serta kemana-mana membawa tissue gulungan. Dan Tika memang cenderung sering Flu, hingga hidungnya selalu basah dan harus sedia tissue di tas setiap saat.

Beberapa teman yang ikut membaca sepertinya kali ini harus rela mengerutkan kening. Buat mereka, apa yang dituliskan Febi dan Tika justru membuat bingung. Tak paham dengan apa yang mereka berdua bahas. Yaiyalahh, novel itu kan emang baru Tika sama Febi yang tau xixixi.

Hayden gendut! Peri ghaits yang pemalas. Rawr~ (" `з´)_,/*(x,") Tika membalas lagi, kali ini ia menambahkan emot lagi getok pala Febi pake tongkat.

Madam Grano! Wek wek weeeeek :p tak mau kalah, Febi membalas lagi.

Elo penyihir Geffon! (o) ( o) (o) (o ) (o) la la la la la *dance hula-hula* Tika menulis lagi dengan penuh semangat.

Kini seisi kelas sudah tak tertarik lagi buat ngintip obrolan mereka berdua. Roaming abis jek~ (-A-)a  apaan nih~

Agak lama Tika menunggu balasan dari Febi. Saat diliriknya, Febi sedang terbungkuk-bungkuk menahan tawa. Tika puas bisa bikin Febi Knock Down. Dia sedikit berkipas-kipas bangga, saat tiba-tiba Rani kembali mencolek hingga bikin Tika kaget. Rani mengangsurkan balasan dari Febi. Tika merebut gulungan kertas tersebut dengan mata melotot, emang sengaja deh ni Rani. Besok-besok males deh jadiin dia sebagai operator.

Tapi balasan dari Febi langsung membuatnya meledak. Tawanya berderai-derai tanpa bisa ditahan. Seluruh kelas menoleh ke arahnya dengan penasaran. Dan Prof. Jimmy mulai melangkah mendekati tempat duduk Tika. 

Tika tak sempat melihat itu semua, yang ada di pikirannya cuma tulisan balasan dari Febi.
Oii, Bisolghedi. Kita sama-sama jelek lhooo, yuuk ngaca barengan :3

Tika masih tertawa, sampai..
“Ehem. Ananda Tika, apakah ananda sedang menertawakan penjelasan saya mengenai Teori Jarum Hipodermik?” tiba-tiba Prof. Jimmy bertanya dengan nada manis berbahaya.

Tika panik, Prof. Jimmy mulai berjalan ke arah bangkunya “Yee~ kok nuduh sih Prof? Saya kan lagi ketawa gegara surat dari Febi.” ups. Febi menepuk jidatnya. Duh Tika nih suka kebangetan deh polosnya. Diam-diam Febi mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

Tika sendiri tambah panik setelah sadar dengan apa yang ia ucapkan. Sambil menaikkan kacamata yang berulang kali merosot karena gugup, ia blingsatan meminta bantuan dari teman-teman yang lainnya. Namun seluruh kelas mendadak terserang penyakit kepala, semua menunduk di tempatnya masing-masing tanpa ada yang berani melirik bahkan bertukar pandang sama Tika.

Lantas mata Tika menemukan isyarat dari Febi. Tangan Febi menggenggam sesuatu kemudian meletakan benda yang ia genggam tersebut di bawah pantatnya. Dan..

PREEEETTT~!! 

Seluruh kelas terbelalak dan menoleh mencari sumber suara. Febi nyengir polos kearah Prof. Jimmy yang membeku di separo langkahnya menuju bangku Tika. Selama 20 tahun sejarah beliau mengajar, baru kali ini ada yang berani kentut di kelasnya. Dengan bunyi keras. Mahasiswi pula. 

Tika menutup mulutnya yang hampir meledak tertawa lagi, matanya kembali berair. Dia mengacungkan jempol ke arah Febi, isyarat terimakasih karena telah menyelamatkannya dari amukan Prof. Jimmy. Melihat ekspresi Tika dan Febi, seluruh kelas paham dengan tiba-tiba. Mereka pun ikut-ikutan membekap mulut, menahan tawa yang memberontak ingin berhamburan keluar. Prof. Jimmy menghampiri Febi dengan muka merah menahan marah.

“FEBRIANI AYUDYA, KELUAR DARI KELAS SAYA SEKARANG!!!” Prof. Jimmy berteriak ke Febi yang masih nyengir tanpa rasa bersalah.

Tepat setelah teriakan Prof. Jimmy, terdengar ketukan di pintu.

“Maaf Prof. waktu pergantian kelas sudah lewat dari 10 menit yang lalu. Prof. Diah dan seluruh mahasiswa beliau sudah menunggu untuk gantian menggunakan kelas ini”. Mas Widi, salah satu petugas TU yang sedang piket berkata dengan sopan. Si Mas baik hati yang sering dimintain tolong mahasiswa itu tetap berdiri dengan postur sedikit menunduk hormat tanpa gentar pada pelototan Prof. Jimmy. Beliaunya sendiri hampir berasap menahan emosi karena kali ini lagi-lagi kemarahannya harus ditunda.

Setelah menatap geram pada mas Widi yang memasang ekspresi ‘tak tau apa-apa’ yang saaaaangat sopan, pada Febi yang masih nyengir polos, serta pada Tika yang menunduk dan memilih menatap sepatunya, Prof. Jimmy bergegas memberesi tas laptop dan buku-buku teks yang tadi dia baca lalu meninggalkan kelas dengan muka merah padam menahan marah.

Seluruh kelas terutama Febi dan Tika langsung bersiul lega, mengelu-elukan mas Widi yang hadir sebagai pahlawan tingkat dua –setelah Febi yang menyelamatkan Tika dari cecaran Prof. Jimmy-

***

Febi sedang asik melihat-lihat komik di tumpukan  New arrival sementara Tika menelusuri novel-novel terjemahan yang berjajar di rak sampingnya. Mereka berdua sedang menikmati sore di Toko Buku langganan. Sudah sekitar 2 jam keduanya tenggelam dalam kesibukan tersebut.

Tiba-tiba ketenangan Febi dalam mencuri baca serial komik kesukaannya terusik. Perutnya berkerucuk nyaring sekali. Tika menoleh kearahnya. Mereka berdua sama-sama bertukar cengiran bodoh.

“Makan yuk~ ” tawar Tika, di letakkannya novel terjemahan yang barusan dia baca. Tangannya lantas meraih setumpuk novel pilihan yang hendak ia beli.

“Lo jadi beli, Tik?” tanya Febi saat melihat tumpukan novel tersebut. Tika mengangguk.

“Kalo lo? Pasti engga jadi~” todong Tika langsung. Febi nyengir dan mengangguk heboh karena tebakan Tika tepat sekali.

“Abisnya yang mau gue beli udah kelar gue baca sambil berdiri tadi” sahut Febi beralasan. Tika geleng-geleng kepala.

“Lo tuh emang master-nya baca cepet ya? Pantes duit lo utuh mulu, gapernah di belanjain buat beli komik yang pengen lo baca sih..” ujar Tika, nadanya menyiratkan kekaguman.

“Hehehe cara baru dalam berhemat kan?” seloroh Febi, tertawa bangga. “Yuk, makan..” lanjut Febi, dia baru saja membalikkan badan menuju pintu keluar saat tudung hoodie yang dia pake di tarik Tika dari belakang, memaksanya untuk balik badan lagi.

“Ih, lo tuh kebiasaan deh.” Keluh Tika sambil membetulkan kacamatanya yang melorot ke hidung. Dia menekan kedua pundak Febi kebawah, memaksa Febi untuk berjongkok. Tika juga menyusul berjongkok di depannya, dia menyimpulkan tali sneakers Febi yang terurai.

“Lo tuh ceroboh, jalan biasa aja bisa nyusruk nabrak sesuatu, apalagi dengan tali sepatu lepas kayak gini” sungut Tika, tangannya masih saja telaten menyimpul tali sneakers Febi. “Besok-besok pake sepatu flat aja deh, ” lanjut Tika menyarankan.

“Pake flat shoes tuh gue ngga cocok Tik, kaki gue tuh ngga mungil kayak punya elo. Jatohnya malah aneh tauu~ enakan juga pake sneakers gini, bebas loncat-loncat hehe” Febi menjawab ringan.

“Berasa kodok ya elo tuh, pengennya loncat-loncat mulu~”

“Idih, Tika Oneng. Kodok mah lompat kalee~”

“Oh, iya juga ya? hihihi”

“hihihi..”

Keduanya tertawa bareng dengan kocak. Febi segera menarik tangan Tika menuju pintu keluar dengan semangat.

“Woi woi, gue bayar dulu ini.. ntar dikira mo ngutil lagi” Tika kembali menarik tudung hoodie Febi dari belakang dan menyeretnya ke arah kasir.

“Hekh.. hekh.. Tikh..leph-lepphaasiiiiiiiiiiiin..” Febi meronta dalam seretan Tika.

***

Febi sedang duduk di bangku depan Perpustakaan saat Tika menghampirinya dengan ceria.

“Nyonyonyonyooo~ beasiswa gue diterima!!” Tika duduk di sebelah Febi lalu berteriak sambil meluk leher Febi dengan heboh.

Febi hanya diam sambil tetap membaca bukunya dengan tenang, sama sekali tak memperdulikan Tika. Tika melepas pelukan tangannya di leher Febi dengan heran. Febi bukan tipe orang yang pendiam kayak gini. Biasanya dia over energic sampai-sampai cuma buat buka pintu mobil aja pake jungkir balik pecicilan.

“Lo kenapa bebiih? Lo sakit?” tanya Tika penuh perhatian. Febi masih tak menanggapi.

Tika makin penasaran, dia menggoyang-goyangkan pundak Febi agak keras.
“Biy? Febi?” desak Tika, masih menggoyang-goyangkan pundak Febi. Febi menoleh, menatap Tika tajam.

“Berhenti bersikap kekanakan kayak gini, Tik. Lo bikin mood gue makin buruk. Gue bosen bareng sama lo mulu. Ternyata lo bukan level gue. Sori, gue males temenan sama lo lagi.” Dengan dingin Febi berlalu setelah mengucapkan kalimat tadi kepada Tika. 

Tika melongo mendengar ucapan Febi. Bocah ini kenapa sih? Kesambet apa deh~ Tika membatin dalam hati.

Seharian Febi sama sekali tak muncul di hadapan Tika. Dia juga skip beberapa kelas. Mondar-mandir Tika mencari Febi, saat pergantian kelas, saat makan siang, namun nihil. Febi menghilang.

Tika melangkah lunglai menuju parkiran. Pikirannya kusut. Febi kenapa ya?

***

Febi memasang sunglasses CK wine brown kesayangannya setelah turun dari mobil. Orang-orang tak perlu tau kalau matanya bengkak karena semalaman menangis. Sepanjang perjalanan dari parkiran hingga selasar gedung A, Febi selalu menundukkan kepala. Berat rasanya untuk berhadapan wajah dengan orang meskipun tak dikenal.  

Saat berbelok di pertigaan selasar setelah TU, ada yang menahan tangannya. Febi mendongak. Tika menatapnya dengan seribu tanda tanya.

Febi melepaskan cekalan tangan Tika pada pergelangan tangan kirinya. Lalu kembali meneruskan perjalanan. Dari sekian orang yang ingin dia hindari, Tika adalah yang nomor satu dalam daftar tersebut. Sebisa mungkin Febi harus jauh dari Tika.

Tika melepas berlalunya Febi dengan muka sedih. Dia merasa jika ada yang sedang terjadi pada Febi, tapi Febi sengaja menyembunyikan semua itu darinya.

Febi menegakkan dagunya dengan angkuh. Beberapa orang yang melihat kejadian tersebut ikut heran. Tak biasanya Febi sediam itu. 

Febi dan Tika sama-sama mendengar beberapa bisik-bisik sambil lalu.

“Eh, mereka kenapa tuh? Berantem ya?”
“Denger-denger sih dua hari yang lalu Febi marah-marah ngga jelas sama Tika di depan perpus”
“Kenapa ya? Mungkin gara-gara cowok kah?”
“bla bla bla bla..”
“bla bla bla..”

Tika mengepalkan tangannya, mereka semua tak tau apa-apa. Kenapa mereka harus seberisik itu?

Febi tersenyum miris. Memang harus begini, dia bersyukur orang-orang ini mau membicarakan dirinya. Semakin jelek imagenya di mata anak-anak semakin baik buat Tika.

***

“Biy, lo sengaja menjauh dari gue kan? Gue salah sama lo, Bi? Ngomong sama gue~ biar gue tau” Tika mencegat Febi yang hendak menuju kelas. Sudah dua bulan Febi mendiamkannya tanpa Tika tau alasan yang pasti.

Febi mengacuhkan Tika, seolah menganggap Tika tak ada di hadapannya. Dia melintas begitu saja tanpa beban.

Tika tak sabar lagi, dia menahan pundak Febi dengan keras. “Biy, kita bisa ngomongin semua dengan baik-baik kan? Plis, ngomong sama gue. Apa salah gue Biy?” Tika menahan sedih dalam tiap kata-katanya.

Febi masih bergeming. Dia membiarkan tangan Tika mencengkeram pundaknya.
“Bi, gue kangen sama hari-hari kita. Gue kangen sama persahabatan kita. Lo kenapa?” Tika masih kekeuh bertanya walo tak sekalipun Febi mau membuka suara.

Melihat Febi hanya diam, Tika segera membalikkan Febi hingga menghadap padanya. Ditatapnya mata Febi yang terlihat dingin. Duh, kemana Febi yang ceria dulu?

“Demi hidup lo sendiri, Tik, jauhin gue. Persahabatan kita tak pernah ada.” Pelan Febi berkata, namun nadanya dingin. Tika meraba ada kesepian di sana.

“Kenapa, Biy? Kenapa gue harus ngejauh dari lo? Apa alasannya?” Tika masih ngeyel. 

“Karena kita ngga selevel! Lo bisa ngaca ngga sih? Siapa lo, bisa seenaknya saja jadi sahabat gue, hah?” Febi menukas pedas. Tika terbelalak.

“Lo ngomong apa sih, Biy?”

Febi menunjukkan wajah lelah, ditepisnya tangan Tika yang masih berada di pundaknya.
“Susah, ngomong sama orang susah” Febi menuntaskan dalam satu kalimat, Tika meledak dalam amarah.

Plak!

Satu tamparan dari Tika mendarat di pipi kiri Febi. Febi bergeming, rambut panjangnya yang tersibak ke depan karena tamparan Tika menyembunyikan ekspresi lelah yang Febi tunjukkan sekilas, dia menutup mata menahan tangis.

“Jaga omongan lo, Biy. Lo pikir diri lo siapa?!” nada suara Tika meninggi. Beberapa teman yang hendak masuk kelas melewati tempat mereka bertengkar, berhenti sejenak untuk mengamati. Febi menggigit bibirnya, perih. Inilah saatnya, pikir Febi.

“Lo yang harusnya mikir diri lo siapa, Tik. Siapa lo? Lo ngga lebih hebat dari gue. Tapi kenapa semua rasanya mudah buat lo, hah? Kenapa lo bisa dapetin semuanya? Apa yang bagus dari lo? Apa?!!” Febi membentak Tika, semua teman yang menonton perseteruan mereka melongo. Tika cuma diam, yang di depannya ini bukanlah Febi-nya. Ini orang lain. Bukan Febi.

“Ngga bisa jawab kan lo? Karena lo itu emang ngga punya kelebihan, Tik. Lo tuh orang kebanyakan. Cukup kan jawaban dari gue? Puas lo sekarang?” Febi terengah-engah menuntaskan semuanya, diam-diam dia menggigit lidahnya sendiri. Maafin gue , Tik. Bisiknya dalam hati.

“Jauhin gue, Tik. Gue benci sama lo. Gue bukan sahabat lo, gue ngga pernah jadi sahabat lo.” Febi merasa tak kuat lagi. Selesai mengucapkan kalimat tersebut, Febi langsung cabut dari hadapan Tika. Dengan airmata yang hampir jatuh. Sementara Tika hanya menatap Febi hampa. Satu persatu airmatanya sendiri menetes.

Setelah kepergian Febi, Tika melorot ke lantai. Kakinya lemas tanpa tenaga. Dia masih menatap arah Febi pergi dengan miris. Airmatanya mulai deras. Rani dan beberapa teman yang lain membantu Tika berdiri dan menenangkannya.

***


Febi memasuki gerbang rumahnya dengan bingung, beberapa orang berseragam terlihat sedang berada di rumahnya. Tiba-tiba terdengar jeritan mama. Secepat kilat Febi turun dari mobilnya dan memburu arah datangnya suara mama tadi.

“JANGAN AMBIL! ITU MILIK KAMI! HENTIKAN! SINGKIRKAN TANGAN KALIAN! PERGI! PERGIIIIII!!!!”

Febi melihat mama sedang ditahan dalam cekalan dua orang pria berseragam. Febi melesat, dan melepaskan mamanya yang tak henti-henti memberontak dalam cekalan mereka berdua.

Febi memeluk mamanya, tangisnya tak bisa ditahan lagi.
“Biy, mereka udah mengambil papa, sekarang mereka mau menyita seluruh barang-barang kita, Bi! Cegah mereka, Biy! Usir mereka semua huhuu~” mama tetap berteriak dalam pelukan Febi. Febi memeluk mama erat-erat. Matanya kabur oleh tangisan. Tuhan, semoga Febi kuat. Diam-diam Febi berdoa dalam derasnya airmata.

Inilah saatnya. Persidangan papa mungkin sudah mendapatkan putusan. Dari apa yang terjadi di rumah ini, Febi menduga papa dinyatakan bersalah. Papa terbukti melakukan korupsi. Kini pihak pengadilan menyita semua barang-barang mereka. Tapi ngga buat rumah, karena rumah ini atas nama Febi pemberian dari kakek. Pengadilan tidak bisa menyegel rumah mereka.

Setelah semua barang selesai dikeluarkan, seorang petugas berseragam mendekati Febi yang masih terpaku di teras sambil memeluk mama. Mama berusaha mencakar dan memukul petugas tadi sekenanya dibalik pelukan Febi.

“Anda, Febriani Ayudya, benar?” sapa petugas tersebut.

Febi mengangguk, “Iya pak, saya sendiri~” terbata-bata Febi menjawab, tangisnya tak mau berhenti.

“Mohon maaf, tapi mobil yang Anda kendarai termasuk dalam daftar barang sitaan.”

Febi tak menjawab, hanya menyodorkan kunci mobil tersebut dalam diam. Mama masih berteriak histeris dan berusaha menggapai-gapai apapun bagian dari petugas yang ada di hadapannya.

Setelah semua petugas dan barang-barang mereka pergi, barulah Febi melepaskan pelukan mama. Tangisnya tak bisa berhenti tapi tatapan Febi kosong. Dia melorot ke lantai, jatuh terduduk. Semua selesai.

Mama sudah tak punya tenaga lagi untuk menangis, mbak-mbak yang biasanya bantuin mereka di dapur mulai muncul. Bisa dimaklumi kalau mereka tadi takut karena banyaknya petugas yang ada di rumah.

“Mbak Ifa, tolong bawa mama ke kamar ya? Mbak Umi, bikinin mama minuman hangat.. itupun kalau masih ada perkakas yang disisakan oleh mereka” Febi mengakhiri ucapannya dengan kelu. Kedua mbak tadi ikut menangis haru, lalu melaksanakan apa yang Febi minta.

Kini Febi sendiri terduduk di teras. Dia memeluk lututnya dan menyurukkan wajahnya dalam lipatan kaki. Semua sudah berahir. Dia sendirian saja sekarang. 

Dia merasa kesepian. Dia menyedihkan.

***

Kampus heboh. Semua orang menatap Febi dengan sinis. Semua mencemooh. Febi tak peduli. Cuma dirinya ini. Tak apa.

“Ih, ngga nyangka. Keren-keren tapi anak koruptor.”
“Harusnya dia malu ada disini. Uang yang ia makan sehari-hari bukan haknya, jangan-jangan uang yang dipake buat biayain kuliahnya juga uang hasil korupsi bapaknya tuh.”
“Semoga Dekan ngambil tindakan deh, enek ngeliat dia masih mondar-mandir di kampus. Bapaknya aja penjahat gitu.”
“Iya, mafia kelas kakap.”

Febi melihat Tika di kejauhan. Mereka saling bertemu mata. 

“Untung ya Tika udah ngga sama dia lagi, coba kalo mereka masih sahabatan kayak dulu. Pastinya Tika ikut di kucilin tuh”
“Iya, seolah Tika udah diselamatin sama Tuhan dengan menjauhnya Febi darinya yang secara tiba-tiba”
“Iya kan, ih Tika masih disayang sama Tuhan. Febi emang ngga pantes punya temen. Udah anak koruptor, perangainya juga buruk. Udah ah yuk pergi, jijik gue lama-lama liat dia ”

Gerombolan penggosip pergi, tapi hati Febi udah bolong. Semua kalimat tadi nusuk tepat di pusat rasa sakit yang sedang ia coba sembuhkan. 

Febi dan Tika berpapasan. Tapi tak ada sedikitpun kata terlontar dari keduanya. Febi tetap acuh. Tatapannya kosong.

Setelah melewati Febi, Tika berbalik dan menatap punggung Febi. Tika tau betapa rapuhnya tubuh angkuh yang sedang berjalan menjauhinya itu. Dia ingin berlari ke arah Febi, menenangkan, memberi pelukan. Bilang bahwa semua akan baik-baik saja.

Tapi tak ada yang bisa dia lakukan. Febi telah menutup pintu. Tak ada jalan buat Tika untuk masuk dan memperbaiki hati Febi yang rusak karena kesalahan papanya.

***

Kuhabiskan waktu selama satu jam di kamar mandi, menangisi hari ini. lelah rasanya. Kalau saja ada papa, kalau saja Febi bukan anak tunggal, kalau saja kejadian itu tak pernah menimpa keluargaku.

Setahun sudah kejadian itu berlalu, papa masih mendekam di balik jeruji. Mama mulai bangkit lagi, kami kini hidup dengan sederhana. Ada banyak saudara mama yang masih memperdulikan kami, mengulurkan tangan. Tapi aku memutuskan untuk hidup mandiri. 

Setahun ini aku bekerja part time di tiga tempat sekaligus setiap harinya. Jadi kasir supermarket di malam hari, dan jadi waitress di sebuah cafe siangnya. Disela-sela waktu itu aku menerima artikel dari sebuah majalah yang harus aku edit. Lumayan, paling tidak aku bisa memberi uang bersih ke mama walau tak seberapa.

Sudahlah tak ada yang harus di tangisi lagi. Setelah ini aku akan bangkit. Setahun yang sedah lewat aku telah menghabisakan airmata dengan diam-diam tanpa sepengetahuan siapapun, terutama mama. Jika aku saja segini lemahnya , bagaimana aku bisa menguatkan mama?

Ayolah Febi, yang seperti ini belum seberapa. Semangat! Aku harus cepat lulus, dan membantu mama dengan bekerja di tempat yang lebih layak dan sesuai dengan gelarku nanti. Tak peduli apakah anak koruptor akan diterima atau tidak, itu urusan nanti, itu urusan Tuhan.

Kuberesi semua barangku, aku segera meninggalkan bilik tempatku mengunci diri dan menangis. Tapi baru selangkah aku meninggalkan bilik, aku terpaku.

Di luar bilik, bersandar di dinding samping wastafel, Tika mengawasiku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan.

“Lo baik-baik aja, Bi?” sapa Tika, nadanya tetap selembut dulu walau tak terhitung sudah puluhan kali dia kubentak dan kuusir dari hidupku yang suram ini.

“Mau apa, lo di sini? Mau ngetawain gue? Silahkan tertawa. Gue ikhlas dengernya” kututup mataku, mempersiapkan hati.

Tapi bukan tawa yang kudapatkan, tapi pelukan. Tika memelukku sangat erat.

“Gadis bodoh” umpat Tika pelan, aku bisa merasakan kalau dia menangis di pundakku. Duh kan, aku jadi pengen nangis lagi. Tika melepaskan pelukannya dan menatapku tajam.

“Gue benci ngeliat lo hancur. Gue gabisa ngeliat lo kaya gini. Kalau memang lo berniat buat musuhin gue, maka lakukan dengan benar. Angkat dagu lo dan berhenti menjalani hidup yang menyedihkan seperti ini.” Tika tersedu.

“Lo yang nusuk gue, tapi kenapa malah lo yang berdarah?” lanjut Tika menuntut. Aku tak bisa menanggapi apa-apa, kupikir aku lelah menangis, tapi ternyata airmataku masih cukup deras setelah mendengar ucapannya ini.

“Bangkit, Biy. Lo harus tunjukkin sinar lo yang dulu pada mereka-mereka yang udah ngehina lo, ngehina keluarga lo. Lo harus jadi Febi yang gue kenal dulu, baru lo bisa kembali memusuhi gue dengan damai”

Aku tak bisa ngelakuin apapun kecuali membalas pelukannya. Aku yang mengusir Tika. Aku yang membuang Tika jauh-jauh dari kehidupanku. Tapi ternyata Tika tak pernah pergi kemana-mana. Dia ada disini untukku.

“Gue lelah, Tik.” Ungkapku jujur, tangisku tak pernah sederas ini.

Tika hanya menepuk-nepuk punggungku, seolah mengatakan semua akan baik-baik saja. Tik, aku pulang.

-Kkeut. Fin. The End-



ini bukan kita. aku harap kita tak menuliskan kisah seperti apa yang ada di sini. tapi jika sesuatu terjadi, bahkan jika seluruh dunia tak mendukung dan mencela apa yang aku lakukan, kamu masih akan tetap di sisiku dan mencoba memahaminya dari sudut pandang ku kan? :)

sebuah tulisan sederhana buatmu, Nurul Fauziati Kartika. met milad dear^^



PS: yang tulisan bercetak miring adalah kejadian  masalalu atau yang sudah lewat, sementara yang bercetak tegak bersetting sekarang, setahun setelah kejadian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar