Jumat, 09 Maret 2012

[RANDOM]

saya lupa tepatnya tanggal berapa saya membuat tulisan ini di fitur notes handphone saya. tapi saya lupa untuk menuliskan dan membaginya. sebenarnya saya punya janji pada seorang teman. dia pikir saya sempurna, tapi tidak sebelum saya membagi catatan ini. semacam aib. apa yang akan saya tuliskan ini adalah luka lama. membicarakan dan menuliskannya kembali adalah peprangan berdarah dengan masa lalu yang telah saya pilah untuk kemudian saya kunci rapat dalam lemari besi terkokoh.

tapi seperti halnya kata Esti Kinasih, pengarang Novel TeenLit Favorit saya, Luka tak akan pernah bisa disembuhkan jika kita tak menyentuh luka tersebut kembali. lebih baik tersentuh dan perih, namun akhirnya mengering, terobati dan tak lagi terasa.

tulisan ini diawali dengan semacam randomizing tentang bulan.

sepertinya malam itu, ketika saya mencurahkan luka terdalam saya pada tulisan, bulan sedang indah sempurna.

tapi ada awan di sekelilingnya yang berbentuk mirip unta, cuma mirip. see? bulan yang belum juga terhitung purnama, tapi yang terlihat di tatap mata sudah bulat sempurna. bulan ini menghianati lingkaran tanggal tempat ia biasa bersiklus.
Tapi lalu bandingkan dengan awan tersebut. awan itu membentuk apa yang bisa di visualisasikan secara maksimal oleh mata, bentuk paling sempurna untuk suatu tiruan abstrak, tapi kenapa kita tetap bilang kalau itu cuma awan yang mirip dengan bentuk unta? bukan bentuk unta dari awan?

saya tidak tahu kenapa waktu itu saya menulis ini. sementara tulisan yang diatas ini sama sekali jauh kaitannya dengan apa yang hendak saya ungkapkan.

hari itu saya sakit. diantar ke dokter oleh papi. saya sebenarnya hampir lupa rasanya, kapan terakhir kali saya diantar ke dokter oleh papi, bonceng motor.
saya duduk di boncengan belakang sembari memegang lipatan bawah jaket di kedua sisinya erat (jaket, bukan pinggang)

somehow saya jadi tau, darimana saya dapat kebiasaan mengepalkan tangan seolah memegang sesuatu dan mencari lipatan sesuatu yang bisa di genggam. inilah rasa aman dari papi.

dalam perjalanan saya ingat, seharian tadi saya bersama papi. jalan-jalan, makan soto dan kehujanan. kapan terakhir kami sedekat ini?

seolah dilempar ke usia 5 tahun, ketika kami (waktu itu anaknya papi baru saya) makan soto di sore hari lalu kehujanan juga, setelah sampai rumah kami sama-sama kena flu dan tertidur duduk di sofa ruang tamu. indah menurut saya.

sebenarnya saya tidak minum teh manis kecuali pada saat-saat tertentu. dulu saya punya kebiasaan suka meminum teh manis dari gelas besar milik seorang kakek yang bukan kakek kandung saya namun terasa lebih menyerupai kakek kandung dari pada kakek saya yang asli. partner in crime saya dalam melakukan 'kejahatan teh manis' ini adalah fery, sepupu yang sekarang beranjak dewasa meninggalkan saya yang masih galau akan perubahan usia. semua memang tak lagi sama bukan?

nah, demi papi saya habiskan teh manis tersebut dalam sekali tenggak. bukan karena saya rakus atau haus. tapi mungkin memang sudah saatnya membentuk kenangan baru dari orang baru tanpa menghapus yang terdahulu menjadi arsip kan?

sebenarnya cerita ini berawal dari perjalanan pulang setelah periksa ke dokter.oiya, saya masih mengagumi dokter cantik yang usianya sudah diatas 55tahun tersebut. Dokter Christine Widiawati, yang walau beliau punya nama muka serta darah chinese, tapi beliau adalah hajjah. yap, beliau islam. dunia kadang lucu ya? meski saya tidak tau dimana letak kelucuan yang membuat saya tergerak.


memikirkan bu christine, saya jadi teringat dengan guru pertama yang saya kenal ketika saya menempuh pendidikan dasar. namanya Bu Supinem. beliau adalah malaikat. malaikat yang memang tak sempurna. itu menurut saya.

saya masih ingat dengan cara beliau menjelaskan pelajaran yang sambil bergumam, tapi masih mampu saya tangkap, kecerdasan beliau yang kadang ditutupi oleh kantuk. mungkin sekali ini usia pantas menjadi alasan. beliau sudah uzur ketika  mengajar saya untuk pertama kalinya. 51 tahun.

saya suka sekali dengan Bu Pinem. saya merasa teristimewakan ketika di sekolah.bukan apa-apa, tapi memang saya dulu termasuk siswa yang cemerlang. rangking saya selalu pertama di setiap caturwulan. dan guru-guru lain selain bu Pinem acap tercengan ketika bahkan membaca masih tersendat-sendat pun saya sudah bisa menjawab soal test yang di tuliskan. saya bangga memang. kemampuan analisis saya menajam sejak dini.

tapi inilah sebenarnya yang hendak saya ceritakan. luka berdarah dalam kehidupan pendidikan saya. saya punya luka akademis yang tidak setiap orang bisa mengerti rasanya.

saya cukup cerdas untuk mengetahui bahwa hasil test dan angka raport saya bagus, bahwa kemampuan saya jauh diatas teman-teman sekelas saya. tapi do you know what?

saya TIDAK naik kelas di tahun pertama saya kelas 1 SD. gheezz~ hari itu pertama kalinya saya kenal dengan kata terkhianati. dunia yang menghianati saya. saya malu. itu aib yang tidak pernah bisa saya bersihkan seumur hidup. bagaimana mungkin juara kelas bisa engga naik kelas?? saya marah. saya terluka. dan saya pun menjadi arogan semenjak saat itu.

walau bagaimanapun, saya cuma bisa nyengir saat teman-teman sekelas saya yang kini sudah setingkat di atas saya menanyakan hal tersebut. sungguh, bahkan pertanyaan KENAPA? pun akhirnya menjadi tren abadi di kepala orang-orang yang mengenal saya.

kenapa? kenapa saya? dan kenapa saya harus menjawab jutaan kenapa yang sama dari mereka-mereka yang di buai oleh penasaran?

saya berusaha menutup kasus tersebut. tapi aib dan malu, serta lukanya ikut membentuk pribadi saya. perfeksionis dan arogan. mutlak.

saya lebih suka mengerjakan soal lebih cepat dari yang di tentukan supaya teman-teman tidak punya jawaban yang saya tulis di lembar milik saya. saya ngga bisa bilang "maaf aku ngga bisa kasi contekan" jadi sebisa mungkin saya menghindari dan pergi dari ruang test secepat saya bisa.

mulai tingkatan lebih tinggi, rasa sakit dan malunya berkurang. tapi tentu saja tidak hilang. saya seolah membawa tulisan arang di dahi tiap pagi saat berangkat sekolah. saya juara kelas, bahkan tahun-tahun setelah kejadian tersebut pun saya tetap juara kelas, tapi saya PERNAH engga naik kelas. wth!

setelah kelas 6 dan mendekati kelulusan, sakitnya tawar. engga hilang. engga habis. cuma tawar. masih ada tapi engga saya rasa.

lalu jawaban atas kenapa yang pernah terlontar dari banyak orang dan membekukan aroma sepanjang masa  SD saya tersebut muncul. hari itu kelulusan. saya pamit khusus pada guru-guru. dan selain tangis haru, saya diberi hadiah lain. marah.

apa kamu tau apa yang bu Pinem bilang pada saya saat itu?

"nduk, cah ayu. dulu kamu terpaksa tidak ibu naikkan ke kelas dua. bukan apa-apa, tapi membayangkan kamu yang berusia 5 tahun duduk di bangku kelas 2 SD amaaat berat. otak cemerlangmu masih murni untuk mendapat siksaan bernama sekolah"

Jderr! Shit! saya nangis.

jadi ini akhirnya? saya di kecualikan oleh angka sebuah usia. damn.
cuma angka, tapi saya jadi punya cap aib selama 6 tahun ada di sana. luka lama tersebut menemukan kembali rasanya. makin parah. dan saya inget, saat it saya menempuh perjalanan ke rumah sambil nangis.

Tuhaaan. penghianatan terbesar pertama kali ternyata baru terlihat saat ini, pikir saya waktu itu. sumpah. aib itu sama sekali ngga worth it sama yang namanya usia! saya selalu kena phsychology bulliying, apa ada yang tau itu???

semeledak apapun saya, saya selalu diam tiba-tiba saat orang atau temen yang ngeledek saya berkata, "pintar kok engga naik kelas, aku aja naik kelas terus" tuhaaaan, sakit sungguh T.T


dan lantas perfeksionis saya semakin expert dengan munculnya jawaban atas adanya semua kenapa tersebut. ada yang tau rasanya? mungkin cuma saya. biarlah cuma saya.

saya memang bukan orang kebanyakan, saya tau itu. orang-orang pikir hidup saya aman tenteram damai dari lahir kan? nope.


dalam keluarga saya, saya selalu diajari untuk tidak mengucapkan kata-kata buruk, kata-kata negatif atau kata-kata kotor. saya berusaha mematuhi. tapi adakah yang tau bahwa masa kecil saya, saya habiskan dengan mendengarkan segala macam umpatan dan kalimat buruk lain?

dari mana? tetangga? ah i don't mind kalau tetangga mas. kamu tau? dari orang tua.

ya orang tua saya punya relasi yang amat buruk dulunya. ucapan-ucapan kasar, ancaman, keinginan poligami. bahkan seriiing sekali beliau-beliau ini menyebut tentang bunuh membunuh dan bacok membacok, dengan senjata yang telah siap di tangan.

lalu apa yang saya lakukan? saya membeku di tempat saya sembunyi. ngga ada pikiran apapun yang terlintas. ngga ada pikiran "kalau hal itu terjadi hendak jadi apa saya nanti?" sama sekali engga. saya cangkang siput kosong saat itu. dan seolah berakting sebagai kerang, saya menimbun berbutir-butir pasir dalam cangkang kosong tersebut.

saya yang enerjik dan ceria, selalu meledak-ledak. tapi yang terseimpan dalam loker di kepala ini adalah kuburan suram. isi otak saya seperti isi tas saya. unorganized dan terlalu banyak hal kecil. sama seperti banyaknya sobekan-sobekan kertas berisi tulisan penting yang hanya saya yang tahu arti pentingnya. seperti itulah kepala saya. mungkin kamu akan menganggap gila jika saya cerita, eh, sudahkah?

 saya aneh, unik,  dan eksentrik.
saya makan nasi goreng dengan apel.
makan nasi sayur dengan lauk pisang.
makan nasi putih dan mentega.
makan nasi putih yang di campur nasi goreng.
serta mencicipi biji jambu air. oiya saya juga pernah memasukkan biji kacang tanah ke dalam hidung, cuma untuk menilai apakah daya hembus nafas saya kuat. dan hal tersebut berakhir pada ruang operasi. gila bukan? inilah saatnya kamu bilanghal tersebut. ngga papa. saya terima.


papi saya sebenarnya orang sederhana, tapi paling realistik. pertanyaannya yang paling realistik adalah, nanti setelah kuliah mau kerja apa? dimana? dan ini belum saya jawab hingga saat ini, anyone can help?

saya adalah perempuan naga, sedangkan papi adalah lautnya yang tenang dan sedikit berombak. itulah kenapa saya paling tidak cocok dengan papi tapi juga paling dekat dengan papi.

cerita berlanjut. sepulang dari dokter tadi saya baru sadar. saya telah mengalami banyak kehilangan dan punya banyak ketakutan akan kehilangan yang lainnya.

tapi sama sekali saya tidak pernah menanyakan, apa kehilangan papi yang papi pernah alami? apa ketekutan akan kehilangan yang papi jaga selama ini?

sepanjang perjalanan tersebut banyak sisipan obrolan ngga jelas antara papi dan saya. karena dilakukan diatas motor yang melaju maka akan sangat lumrah terjadi beberapa misscomm :p

mulai dari kebencian saya mendengar suara kodok hingga sawah paling produktif tiap tahun yang sering kami lewati, berulang-ulang dan menjadi topik favorit.

kadang saya tertawa mendengar ucapan ngga jelas papi, mengira papi sedang bercanda. tapi tiba-tiba papi bertanya "apa yang kamu tertawakan?" karena sebenarnya saya tidak mendengar dengan jelas cerita papi tadi.

atau saya yang menggebu-gebu cerita panjang lebar tapi ditanggapi 'cool' oleh papi dnegan sahutan "apa tadi?" -_____-

saya sayaaang papi, saya suka humor aneh papi, tapi saya benci ketika papi kembali ke 'gua pribadi'nya. papi saya adalah pendiam akut. kalau marah lebih menakutkan kediamannya daripada ucapan sinis.

inilah cerita random saya. perjalanan ke dokter tersebut memakan waktu tidak lebih dari sejam. tapi banyak sekali cerita yang bisa saya tuliskan darinya. saya memang orangnya begini, apapun yang terpikir selalu berkaitan dengan yang sebelumnya, bahkan kadang saya sendiri tidak menyangka.

lalu kesadaran terakhir dari perjalanan ke dokter tadi adalah sebenarnay saya tidak sakit, tapi ini yang sedang saya butuhkan. saya sehat, tapi saya kangen dengan keintiman keluarga saya. saay kangen berada di tengah keluarga setelah semua tekanan 'urusan orang dewasa' yang saya alami di perantauan. memang inilah yang sebenarnya saya butuhkan.

thats it. seharusnya mungkin lebih baik jika saya beri judul tulisan ini 'perjalanan ke dan dari dokter' toh sebenarnya memang intinya itu.


heii, chips. saya telah membayar janji saya. menceritakan luka dan aib yang sebelumnya kamu tak akan pernah menyangkanya^^

love you, best sista dunia dan insyaaalloh akhirat. amiin :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar