Kamis, 01 November 2012

Kisah dari perjalanan jauh.


Mengaku sebagai kacamata, bukan lagi menjadi alasan.
Dunia yang kecil ada di genggaman.
Aku cukup berdiri saja di salah satu sudutnya.
Mengukur wilayahku sendiri.


Tak terlihat lagi, lembah-lembah kerontang.
Tak ada yang peduli, pada bandang di bantaran sungai.
Semua sibuk mencari, nafas dan segala kesalahan yang mampu ditemukan.


Aku pernah membangun untukmu.
Empat sisi kokoh jembatan yang megah.
Mereka bilang aku hanya lupa tentang rasa percaya.
Hanya lupa tentu saja, sebab memang aku tak punya.


Kau selalu jadi kapal-kapal yang melaut gagah. Akulah suar.
Setiap hari menyaksikan nasib ikan-ikan.
Tersangkut maut di paruh camar.
Buatku itulah kesedihan.


Langit tak lagi biru di atasku.
Sepasang matahari lenyap dari wajahnya.
Tak ada lagi yang bisa kulihat, dan tanganku melepas dengan sengaja.
Memang sengaja tak di rasa.


Jika kau adalah harta, artinya kini aku jatuh miskin.
Kubiarkan saja kau tertawa, seanggun stalagmit di perut-perut bumi.
Aku memilih jadi tebing karang. Kumiliki laut dan langit dalam pelukan.


Kutemukan sudah cacat dalam ceritamu.
Mendung namanya.
Aku benci.
Hujan akan membawa pergi semua dari kita, itu pasti.
Tapi kau telah tambahkan guguran daun. Bagiku, inilah kubur bagi kenangan kita yang menua.


Sementara masih aku bergumul dan memaki hujan. Lantas termangu aku saksikan, orang-orang yang kini mulai berganti kemasan.
Kau, ada didalamnya.

persahabatan memang tak pernah mati, ia hanya mati suri.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar