Minggu, 11 November 2012

[ CERPEN] Secret~



“Ceritakan lebih banyak lagi tentang Arki. Apa dia masih tetap lucu seperti biasa~? Kalian masih berteman kan? Hal bodoh apa lagi yang dia lakukan selama kita tak bertemu, Kia?” Teman-teman Kiara memohon.

Kiara menyesap jusnya sebelum menjawab, “Aku curiga, sebenarnya kalian hanya ingin mendengar kabar Arki daripada ingin tau kabarku sekarang~” ujarnya seolah terluka.

Teman-teman Kiara itu seketika meledak dalam tawa. Saat ini Kiara sedang berada di dalam sebuah cafe yang sering dia datangi sewaktu masih SMA bersama teman-teman terdekatnya. Mereka selalu mengusahakan waktu untuk bertemu setahun dua kali karena perbedaan tempat tinggal dan pekerjaan masing-masing.

“Tentu saja tidak, sayang. Kami sangat merindukanmu hingga rasanya ingin mati~” Shinta menimpali ucapan Kiara, 5 orang yang lain mengangguk-angguk menyetujui.

Kiara memutar bola matanya dengan gaya dramatis. “Kalian lebai deh~” tapi tak urung juga dia menyunggingkan senyum.

Rifka, Shinta, Celline, Naya dan Arlene tertawa lagi, sementara Nina, salah satu yang paling dekat dengan Kiara selama SMA meremas tangan Kiara hangat.

“Kia, kau selalu tau jika kami semua menyayangimu, mungkin tak sebesar cinta orang tua, tapi kami tau jika rasa sayang kami kepadamu lebih besar dari Arki~” Nina melontarkan kalimat tersebut dengan halus. Teman-teman yang lain ikut berkomentar, tapi yang Kiara lihat saat mengangkat dagunya dengan sedikit terkejut hanya tatapan Nina padanya.

Ketika yang lain sibuk bercerita dan saling menimpali, tak ada yang menyadari jika Nina dan Kiara masih saling mengunci tatapan dengan tajam.

Kuharap kita berhenti mempermasalahkan hal ini, Nin.

Tidak akan sebelum kau berhenti bertemu Arki, Kia.

Sebegitu bencikah kau pada Arki?

Aku tak pernah membenci Arki.

Lalu?

Aku hanya.. pokoknya jauhi Arki, Kiara. Kami ada untukmu, jangan pikirkan segala tentang Arki lagi.

Huh? lucu. Yang lain justru terdengar sangat antusias saat aku menceritakan tentang Arki. Kenapa kau tidak, Nin?

Karena mereka belum pernah bertemu Arki, kau tak pernah mempertemukan mereka dengan Arki. Mereka tak tau siapa Arki sebenarnya. Hanya aku yang kau kenalkan langsung pada Arki, kan?

Ayolah, Nin. Aku capek mempermasalahkan hal ini. tak bisakah kau menerima Arki seperti yang lainnya.

Tidak. Hingga kau memberiku alasan pasti kenapa kau mempertahankan Arki sampai  sekarang.

Arki peduli padaku, nin.

Kami lebih dari peduli padamu. Kami menyayangimu, tidak kah itu cukup buatmu?

Dia juga sahabatku, sama seperti kalian. Apa kau tau, aku tak punya alasan cukup kuat untuk mengusir atau pun meninggalkan Arki.

Kia, hanya karena kau melihat Arki sempurna maka tak lantas berarti orang lain juga melihatnya seperti itu.

Kiara tersedak udara hingga terbatuk-batuk hebat. Teman-teman yang lain kembali memusatkan perhatian padanya.

“Ini nih nih, minum. Kia itu memang kebiasaan suka makan buru-buru deh~ nggak bakalan ada yang minta juga~” Naya mengulurkan segelas air sembari menepuk-nepuk punggung Kiara pelan.

“Eh, tadi kan belum jadi cerita tentang Arki kan? Ayolah Kia, ceritain~” Rifka dan Celline mengoyang-goyangkan lengan Kiara dengan antusias.

Perhatian Kiara kembali teralih, dia tertawa atas kechildish-an teman-temannya.

“Okay, okay, aku cerita.. jadi beberapa minggu yang lalu Arki...”

Sementara Kiara bercerita, dia tau pasti jika Nina memalingkan muka dari arahnya dengan tatapan sedih.

***

“Kali ini cerita bodoh yang mana lagi yang kau bagikan pada teman-temanmu tentang aku?”

Kiara sedikit terjingkat mendengar pertanyaan Arki, yang tiba-tiba muncul di sampingnya saat dia berjalan menuju komplek perumahannya, setelah turun dari bus kota. Sambil meletakkan tangan di dada buat menetralisir debur kagetnya, Kiara menolehkan tatapan sebal pada Arki yang cengar-cengir tak bersalah.

“Kenapa kau selalu muncul tiba-tiba, Arki? Kau ini menyebalkan~” Kiara merajuk, pura-pura marah dengan berjalan lebih cepat meninggalkan Arki.

Terdengar tawa renyah Arki dari belakang. “Percayalah, kau tak akan bisa pergi dariku begitu saja. Aku membawa rockalicious road shake dengan extra chocolate chips buatmu lhooo~” bujuk Arki.

Seketika Kiara menoleh dengan cengiran lebar. Dia melihat minuman kesukaannya di tangan Arki. Ah, Arki memang tak pernah gagal dalam memberinya kejutan. Apapun itu.

Kiara dan Arki akhirnya berjalan bersama menuju arah rumah kiara. Sepanjang perjalanan mereka selalu membicarakan mengenai apa saja. Arki tak pernah kehabisan bahan untuk mengajak Kiara bicara.

Kiara tergelak saat melihat sorot terkhianati di raut wajah Arki, dia baru saja menjawab pertanyaan Arki tadi mengenai apa yang kiara ceritakan pada teman-temannya. Rahasia terpendam Arki ketika telunjuknya terjepret perangkap tikus yang dia pasang sendiri.

BETRAYAL!!” Arki berteriak dengan ekspresi yang membuat Kiara makin tertawa keras. “Kupikir kau sahabatku. Bahkan aku tak menceritakan hal tersebut pada siapapun selain kau!” Arki menghentak-hentakkan kakinya ke tanah dengan gaya dramatis.

Kiara sampai membungkuk karena tak mampu menahan tawa ketika melihat ekspresi dan tindakan Arki di depannya.

“Aku tak mau menjadi sahabatmu lagi. Aku akan berhenti menemuimu mulai besok!” Arki mencemberutkan bibirnya seperti anak kecil. Kiara sampai kehabisan nafas karena tertawa.

“Lihat dirimu, kau sudah 26 tahun dan masih suka cemberut seperti saat kita berusia 6 tahun” Kiara meledek Arki, perutnya sudah terlalu sakit karena kebanyakan tertawa. “Dan kau selalu mengatakan hal tersebut ratusan kali tiap tahun dalam 20 tahun persahabatan kita. Tapi lihat hari ini, kau bahkan membelikanku shake ahahaha~ bodoh..” Kiara melanjutkan, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya geli.

Arki akhirnya ikut tertawa bersama Kiara atas ke-silly-annya tersebut. “Aku terkejut kau mampu mengingatnya sementara kau bahkan pernah melupakan cara mengerjakan perkalian silang di ujian SD hahaha..”

Wajah Kiara memerah, seperti halnya Arki yang hanya menceritakan hal-hal memalukan pada dirinya saja, Kiara juga hanya menceritakan hal-hal memalukan yang pernah dia alami hanya pada Arki.

“Kenapa kau mengungkitnya lagi?” kini giliran Kiara yang mengerucutkan bibirnya.

Arki tertawa lagi, tapi lalu melanjutkan. “Tenang, i won’t be a betrayer like you and your noisy friends. I have none of them, anyways” Arki nyengir saat mengatakan hal tersebut.

Wajah Kiara berubah saat mendengar perkataan Arki. Dia menatap Arki dengan pandangan sedih.

“Kenapa kamu tak berteman dengan siapapun yang kamu sukai selain aku, Ki?” bisik Kiara hampir di ambang airmata.

Arki tersenyum lembut dan merangkul bahu Kiara sambil mereka berjalan.

“Karena tak ada yang bisa menerimaku sesempurna kamu menerima ketidaksempurnaanku, Ki” jawab Arki.

Kiara tersenyum, dia selalu suka mendengar sapaan ‘Ki’ oleh Arki atas namanya. Sama seperti cara dia memanggil Arki.

“Oh ayolah, its not like i couldn’t, but i just don’t want to~ okay?” lanjut Arki menegaskan, dia memandang kiara tajam.

Kiara mengangguk sambil tersenyum, “I know..”

Hening sejenak mengisi perjalanan mereka.

“Tadi Nina mengungkit masalah tentang kita.. lagi” Kiara memulai pembicaraan baru, cara dia mengungkapkan kalimat tersebut penuh rasa lelah.

Arki menghapus senyum dari wajahnya, dia menatap Kiara prihatin. Mereka benar-benar berhenti berjalan sekarang. Arki melepas rangkulan tangannya dari bahu Kiara lantas menarik gadis tersebut ke arah gazebo sebuah minimarket dan duduk di salah satu spotnya

“Apa yang Nina katakan tentang kita?” Arki bertanya dengan lembut.

Kiara menyibak poninya ke belakang, “Yeah, the old ones.. tentang tidak sehatnya persahabatan kita. Tentang aku , tentang kau” mata Kiara menghindari tatapan Arki saat dia mengutarakan hal tersebut.

Arki menepuk dagunya dengan pose seolah memikirkan sesuatu, “hmm.. same old, same old..” gumamnya.

Tiba-tiba Kiara menatap Arki dengan sangat serius.

“Jangan tertawakan aku saat menanyakan ini, tapi aku benar-benar penasaran. you aren’t in love with me, are you?” Kiara menyelidik dengan tajam.

Raut muka Arki sedikit kebingungan, namun dia menjawab dengan wajah tak kalah serius. “offcourse, i’m notWhy would i? You’re this ugly to be loved~ugh. Sure, i’m not!” dia menampiknya dengan wajah seolah terhina.

Kiara mengerucutkan bibirnya dan menyipitkan mata, “Hey, that was so mean!”

Arki meledak dalam tawa lalu mengacak-acak rambut kiara pelan, “Silly. Dapet pikiran dari mana yang seperti itu tadi, hah?”

Kiara sedikit malu, dia menggaruk belakang telinganya, sedikit salah tingkah. “Sudah ku bilang, jangan tertawakan aku karena mengungkapkan pertanyaan ini. salahkan Nina yang menanamkan ide tersebut padaku” ujarnya sembari merajuk.

“Idih, kenapa nyalahin Nina?” Arki mengerutkan keningnya, heran.

“Yaaaa, abisnya dia nanyainnya gitu mulu~ kan jadinya aku kepikiran juga” Kiara sedikit mengeles, dia menggerak-gerakkan tumitnya, makin salah tingkah.

Arki menggenggam tangan Kiara sambil tersenyum hangat, “Persahabatan ini milik kita. Kita yang tau hendak kemana, kita yang tau dari mana kita berawal, dan kita yang tau apa saja yang telah terjadi pada persahabatan ini. Tapi jika apa yang di ucapkan oleh orang sebegitu mengganggumu, maka bisa kita pertanyakan lagi hendak berhenti atau terus berjalan persahabatan ini”

Kiara tercekat, “Maksudku.. maksudku, bukan begitu, Ki.. aku hanya..” terbata Kiara berusaha menemukan alasan atas pertanyaannya tadi, namun tak mampu.. ada yang mulai menggenangi matanya lalu meluncur turun.

Arki menghapus airmata Kiara dengan ibu jarinya lalu menarik Kiara berdiri secara perlahan. “Sudah sore, saatnya kamu pulang. Mama mungkin sedang mengkhawatirkanmu”

Arki menemani sisa perjalanan Kiara hingga rumahnya dalam diam. Setelah sampai di depan pagar rumah Kiara, Arki berhenti. Kiara menoleh dengan sorot heran, matanya menyiratkan permohonan untuk ikut masuk dengannya. Arki menggeleng sambil tersenyum. Dia menunjuk ke arah teras rumah Kiara, mama dengan wajah cemas melihat ke arah pagar, ke arah tempat di mana Kiara dan Arki berdiri sekarang.

“Aku yakin mama juga tak akan suka jika aku ikut masuk denganmu, kita sudah menyepakati hal tersebut semenjak kau lulus SMA kan?” ujar Arki pelan.

Kiara menggigit bibir bawahnya dengan wajah sendu, dia sangat ingin menangis sekarang. Sebegitu salahkah persahabatan yang dia jalani dengan Arki hingga banyak orang menentang?

Arki mendorong bahu Kiara pelan, menyuruhnya segera masuk. Kiara menurutinya. Dia memandang ke arah teras, mama masih menatapnya dengan sorot penuh kecemasan. Kiara menghela nafas panjang sebentar, saat dia kembali menoleh ke belakang Arki sudah tak tampak lagi.

“Mama pikir kamu tadi pergi untuk menemui teman-teman SMA-mu” mama menyambut kiara dengan sebuah tudingan yang tak bisa menyembunikan kekecewaan yang beliau rasa.

Yes i was~, mom.” Kiara menjawab sambil lalu, dia berjalan langsung menuju kamarnya sementara mama mengikutinya dari belakang.

“Kamu pikir mama bakalan percaya? Kamu bersama Arki saat pulang~!”

Cukup sudah, Kiara benci saat-saat seperti ini. Dia membalikkan badan dengan tiba-tiba, menatap mama tajam.

“Duapuluh tahun ma, duapuluh tahun kita selalu berbicara tentang Arki. Kalau dulu mama pernah menerima Arki dalam kehidupanku, kenapa sekarang tidak? Tolong bilang sama Kia, apa yang bisa membuat mama kembali menerima Arki seperti saat Kia kecil? Kia akan lakuin itu Ma, Kia akan ngusahain itu. Asal mama terima Arki. Mama mengakui Arki.” Airmata Kiara tak bisa dibendung lagi, seharian ini membuatnya sangat lelah.

Mama tak menjawab, beliau ikut menangis bersama Kiara. Mereka masih saling menatap dengan airmata sebelum akhirnya Kiara kembali meneruskan langkahnya menuju kamar dan meninggalkan mama menangis sendirian di ruang tamu.

Setelah terdengar bantingan pintu kamar Kiara, mama menghapus airmatanya dan mengetik sebuah pesan dalam handphonenya yang beliau pegang, ‘Dia baru saja pulang, nin. Dengan Arki’ lalu mengirim kalimat tersebut ke pada Nina.

“Seperti halnya kamu, mama juga kehilangan Raka, Ki. Tapi bukan begini cara menggantikan Raka~ bukan begini..” bisik mama pelan, sementara tangannya masih saja sibuk mengusap airmata yang tak kunjung berhenti mengalir.

***

Kiara seperti diserang dari semua arah. Musuh-musuhnya. Masa lalunya. Semua yang telah dia lihat, rasa dan alami. Keringat dingin mengucur deras, seluruh badannya gemetar. Dari semua bayang-bayang yang penuh kobaran api, di sela-sela deru mesin yang tak bisa ia jelaskan suaranya, mulai muncul semua bentuk-bentuk yang dia kenali.

Raka. Raka yang berumur 12 tahun. Rakanya.

Nina. Nina yang pernah bertemu Arki. Nina yang selalu menyuruhnya menjauhi Arki.

Mama. Mama yang telah kehilangan suami dan anak pertamanya karena Skizophrein. Mama yang penuh airmata.

“Apa Arki adalah aku yang lain, Kia?” Raka mendekat sembari bertanya denagn suaranya yang terdengar sangat jauh. “Apa Arki adalah penggantiku ataukah aku yang lain untukmu?”

Kiara menutup telinganya rapat-rapat dengan kedua tangan. Kakinya merasakan menendang sesuatu yang lembut seperti ujung tempat tidur. Dia tau dia tak beranjak satu sentipun dari kamarnya semenjak satu jam yang lalu. Tapi apa yang dia lihat kini bukan lagi berada di kamarnya.

Nina mendekatinya pula dari sebelah kanan, tatapannya penuh rasa kasihan. Kiara benci.

“Tak bisakah kau membuang Arki? Kami ada. Kami nyata. Dan kami menyayangimu. Aku, Shinta, Rifka, Celline, Naya, Arlene semua sayang kamu, Kia. Mama juga sayang kamu. Bahkan Raka juga tak akan suka jika kamu terlalu dekat dengan Arki. Berhentilah bertingkah menyedihkan Kia, grow-up!”

Mata Kiara membelalak, “Jangan bicara seolah kau mengenalku, bahkan mengenal Raka, Nin. Kau sama sekali tak tau.” dia menyahuti dengan sedikit ketus, kedua tangannya masih menutupi telinga tapi rasa-rasanya hal itu tak penting lagi. Semua suara terasa memenuhi telinganya dan semua benda berebut mencari tatapan dari matanya.

“Apa kau merasa kau mengenalku, Kia?” Raka menyahut dengan suara anak-anaknya. Kiara memucat, dia tak akan bisa bertahan seperti hari-hari sebelumnya, ini semua terlalu berat untuknya.

“Mama tinggal punya kamu, nak. Kiara satu-satunya yang mama punya sekarang. Apa kau juga tak akan mendengarkan mama dan memutuskan apa yang kau mau sendirian? Mama tak punya apa-apa selain kamu, Kia. Bantu mama buat kuat. Bantu mama. Kita harus kuat, nak.” Mama ikut mendekat dengan wajah penuh airmata. Kiara benci airmata di wajah mama. Mama sudah terlalu banyak menangis, buat papa, buat Raka dan juga buat Kiara.

Kiara mulai berteriak. Ini semua membuatnya seakan hampir meledak. Dia tak sanggup lagi. Tak jelas sudah, entah Kiara sedang berdiri atau sedang terbaring, Kiara tak bisa merasakan kaki dan seluruh badannya. Sementara semua suara semakin keras dan memojokkan dirinya.

Kiara berteriak, lagi dan lagi. Dia pikir dia sudah berteriak sangat keras hingga tenggorokannya panas, tapi suaranya tak pernah muncul. Justru suara-suara tak jelas yang semakin keras memenuhi telinganya.

Tiba-tiba..

Wake-up, sleepyhead! Kau akan membuat banjir kamarmu jika kau terus-menerus menangis dan berkeringat seperti itu”

Suara dengan nada jahil itu sangat Kiara kenali. Perlahan semua indra-nya kembali. Bayang-bayang hilang dan suara mereka memudar. Suasana kamarnya yang terang benderang mulai kembali di pengelihatan Kiara.

Terhuyung-huyung Kiara kembali mendapati kakinya lemas. Rupanya tadi dia dalam keadaan berdiri. Seseorang menangkapnya sehingga pinggangnya tak terantuk sudut meja rias di samping tempat tidur.

Darn, girl. Apa kau hanya makan gulali kapas sepanjang hidupmu? Kau ringan sekali, apa kau tau itu? Kau bahkan bisa terbang seperti balon jika tak diikat.” Arki terkekeh atas leluconnya sendiri.

Kiara tak memberi respon, dia masih sibuk mengumpulkan segenap inderanya. Kini baru terasa seluruh piyama yang dia pakai basah kuyup oleh keringat dan muka yang penuh lelehan airmata.

“Arki..”

Kiara tak mampu menggerakkan lidahnya untuk berkata lebih dari satu kata tersebut. Dia hanya menatap Arki tepat di mata. Dia selalu tau, Arki bisa membaca apapun yang tak dia katakan.

I know it, aku tau yang seperti ini akan selalu terjadi. Kau selalu seperti ini setelah bertemu Nina. Beruntung orang tuamu hanya membangun rumah dengan satu lantai. Kalau tidak aku tak akan bisa keluar masuk kamarmu melalui jendela sesuka hati.” Terlihat kilat jahil sekaligus geli di sorot mata Arki, lantas dia melanjutkan. “Aku tak punya pilihan lain, hanya dengan beginilah aku bisa melindungimu. Toh mama juga tak akan memperbolehkan jika aku masuk melalui pintu depan kan?” dia mengakhiri penjelasannya atas pertanyaan tak terucap Kiara dengan cengiran khas.

Kiara mulai mengucurkan airmata lagi, kali ini dia tumpahkan semuanya dalam pelukan Arki. Dia merasakan semuanya, tekstur sweater yang Arki kenakan, aroma sabun mandi yang tetap diingat Kiara dari kecil dan rasa aman yang Arki berikan. Arki hanya menepuk punggung Kiara pelan dalam pelukannya. Dia bergumam tentang sesuatu yang menenangkan.

“Jika aku bisa memelukmu dan meniriskan tangisku di pelukanmu, kenapa orang-orang tak bisa melihat kita secara normal, Ki?” Kiara bertanya dengan suara yang hampir menyerupai bisikan.

Arki tersenyum sambil mengetatkan pelukannya pada Kiara.

“Kadang orang-orang terlalu bodoh mendewakan apa yang terlihat mata, sementara mengabaikan apapun yang bisa mereka rasa. Bukankah kita sudah berjanji akan menutup telinga pada orang-orang yang tak bisa melihat kita dengan normal?”

Kiara semakin menenggelamkan kepalanya dalam rengkuhan Arki, “Kenapa harus aku, ki? Kenapa kita? Aku muak. Kuturuti semua apa yang menurut mereka normal dan semua cara-cara yang menurut mereka bisa membuatku normal. Tapi tak ada balasan pengertian atas apa yang aku anggap normal.”

Perlahan Arki mengurai pelukannya pada Kiara. Lalu menyejajarkan tatapannya dengan mata Kiara. Dia terlihat serius.

“Apa kau lelah dengan semuanya? Bukan suatu kesalahan jika kau merasa lelah, kita tau apa yang harus kita lakukan untuk menyelesaikan semua siklus tak berujung ini~” ujar Arki.

Kiara menatap Arki dengan gamang. Dia mengangguk perlahan.

“Semua dokter, obat dan psikiatris itu hanyalah sarana atas semua diagnosa, kitalah yang tau bagaimana harus menyelesaikan masalah ini. Tak apa, mungkin persahabatan kita memang dituntut harus punya batas kadaluarsa.” Arki menjelasakan “Kau tau kan apa yang harus dilakukan?” lanjutnya pelan.

Kiara mampu melihat pancaran kesedihan di mata Arki, Kiara tak sanggup melihatnya. “Aku tak mau, kita bisa melakukannya. Aku masih bisa bertahan beberapa tahun lagi. Jangan ambil jalan itu aku mohon, Ki”

Arki menjawab dengan suara yang setengah parau, “Sampai kapan? Sampai kau habis di gerogoti ketakutanmu? Kau hebat mampu bertahan dua puluh tahun bersamaku, dan menjalani kehidupan normal menurut orang-orang. Kau ini sudah terlalu hebat. Jangan paksakan lagi. Kau mampu melakukannya, aku selalu tau itu.”

Kiara sudah mulai menangis.

“Kau tau apa yang harus dilakukan, bukan?” tanya Arki lagi.

Kiara mengangguk, “Meninggalkanmu~” dia menyahut dengan sisa kekuatan yang dia punya sebelum hancur. Membayangkan apa yang baru saja dia katakan rasanya lebih menyakitkan dibanding saat-saat ketika dia kehilangan dirinya seperti tadi. Melupakan dengan sengaja saja sudah merupakan dosa terberat, apa lagi pergi dan menganggap Arki tak ada. Tak pernah ada.

“Kalau begitu lakukan sekarang~” Arki menatap Kiara dengan tegas. Tak ada lagi sinar di mata cokelat gelap miliknya. Hancur. Mereka berdua sama-sama hancur.

***

Kiara kecil menatap kosong pada pot bunga yang ada di terasnya. Setelah papa, kini Raka yang pergi. Kiara rasanya tak tau lagi bagaimana cara tersenyum.

Seseorang melempar batu ke kaki Kiara. Kiara mendongak.

Di depannya seorang anak lelaki kecil dengan postur kurus yang kira-kira tingginya sama dengannya sedang nyengir lebar.

“Apa kau tak pernah diajari tentang betapa indahnya hidup?” ujarnya masih tetap dengan senyum lebar.

Kiara hanya termangu. Bocah lelaki kecil ini sepertinya dia kenal. Tapi pikiran kanak-kanaknya tak mampu menjangkau apapun.

“Aku Arki~” dia mengulurkan tangan dan memaksa menjabat tangan Kiara, masih sambil tersenyum.

“Aku akan jadi temanmu.”  Mata dan bibirnya tersenyum, tanpa sadar kedua ujung bibir Kiara terangkat.

“Selamanya?” suara Kiara terdengar takut-takut saat mengucapkannya.

“Selamanya dan tak akan pergi kecuali kau yang menyuruhku pergi” bocah lelaki tadi menjawab mantab. Itulah saat pertama kalinya Arki hadir dalam kehidupan Kiara di Umur 6 tahun setelah pemakaman Raka, kakak sulungnya yang berusia 12 tahun.

***

“Bagaimana kalau dia bilang aku jelek? apa baju ini cukup bagus aku pakai? Bagaimana kalau kau ikut kami?” Kiara remaja memberondong Arki dengan pertanyaan dan rengekan.

Mereka sedang berada di kamar Kiara, mencoba semua baju dan berusaha membuat Kiara terlihat lebih cantik dari sebelumnya dengan semua polesan make-up.

Arki memutarkan matanya.

I have my own Saturday nite, Ki. Jadi tenanglah, nggak usah heboh. Demi tuhan, ini hanya date!!. Malam mingguan bersama pacarmu, bukannya mau sungkem Ratu Inggris!!” Hardik Arki sebal.

Kiara mencemberutkan wajah. “Kau selalu begitu~ kau tau kan, aku tak bisa apa-apa tanpa kau. BAGAIMANA JIKA AKU MENGHANCURKAN DATE PERTAMAKU?? AAAARGH~!” Kiara histeris, Arki mengorek telinganya yang pengang karena teriakan Kiara lalu menyentil dahi gadis itu pelan.

“Diamlah, atau aku akan mengelem mulutmu dengan kue mochi paling lengket yang pernah aku buat.” Arki berkata dengan wajah kesal “Kalau aku ikut kalian, maka date mu akan lebih hancur dari yang kau perkirakan, bodoh. Lagi pula, siapa juga yang mau jadi obat nyamuk di antara kau dan dia, idih. Please ya, I have my own date, so you better be ready or i’ll ruin mine either bcos of  you, PoopHead!!

***

Kiara tak mampu mencegah airmatanya mengalir. Dion memutuskannya dan bilang jika Kiara tak cukup baik buatnya. Sudah setengah jam yang lalu Dion meninggalkan kursinya yan ada di depan Kiara. Tapi bahkan Kiara tak mampu untuk beranjak dari cafe tersebut sejengkal pun. Orang-orang mulai melihatnya dengan pandangan yang bermacam-macam, kasihan, geli, sebal bahkan tatapan aneh.

Tatapan Kiara kosong terpaku pada kotak tissue yang ada di atas meja. Seolah ada ruang hampa yang menyedot semua kebahagiannya dalam satu malam. Dion, pacarnya semenjak SMA hingga kuliah memutuskannya ketika dia sedang sibuk mengerjakan skripsi.

Tiba-tiba sebuah tangan menariknya untuk berdiri. Kiara tersadar dari pikiran kosongnya. Arki dengan wajah yang marah ada di depannya sekarang.

“Jangan menangisi orang yang bahkan sedikitpun tak bisa menghargai airmatamu. Percayalah, dia yang mudah pergi dan datang sesuka hati dalam hidupmu isn’t worth to be hold onto~” Arki membimbing Kiara dengan lembut untuk meninggalkan tempat tersebut.


***

Kiara menghambur ke arah Arki dengan wajah gembira.

“Aku dapat panggilan kerja, Ki. Ada yang mencariku tanpa aku harus bersusah payah mengirimkan lamaran!!” senyum Kiara melebar hingga telinga.

Tak cukup dengan teriakan, Kiara juga menubruk Arki dalam pelukan erat.

“Woi woi woi, cukup. Lepasin pelukannya, aku buru-buru ke kamar kecil nih!” Arki balik berteriak dengan muka meringis menahan pipis.

Kiara tergelak dan menggoda Arki dengan berlama-lama memeluknya.

***

Disinilah mereka sekarang. Arki dan Kiara. Pantai. Tempat yang di pilih Arki untuk kepergiannya.

Kedua kaki Kiara sudah tak mampu menopang badannya, semenjak tadi dia hanya bertumpu pada pelukan Arki. Mengandalkan Arki untuk sampai kemari.

“Harus kah kita?” Kiara terkejut mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutnya sendiri, suaranya seolah terdengar dari jauh.

Arki menghela nafas berat. “Hanya ini cara agar mereka bisa melihat persahabatan kita selama ini normal, Ki.”

Kiara terisak, “Aku tak peduli jika mereka menganggapku tak normal jika arti menjadi normal adalah harus kehilangan kamu untuk selamanya.”

Arki tercekat mendengar isak Kiara, dia merengkuh Kiara semakin dalam ke pelukannya.

“Kau boleh melupakanku, melupakan semua tentang persahabatan kita. Tapi jangan pernah lupa bahwa aku menyayangimu, oke?” Arki mencium puncak kepala Kiara, matanya sudah mengembun sementara Kiara sudah meleleh dalam tangisan berkali-kali hingga saat ini.

“Mungkin saat ini orang-orang peduli padaku karena aku tidak normal, lantas bukankah itu artinya tak kan ada lagi yang peduli padaku setelah aku menjadi normal?” suara Kiara hilang di ujung kalimat, “Bagaimana jika mereka mulai tak lagi peduli padaku setelah kau pergi sama seperti saat Raka pergi?”

Arki tak menjawabnya. Hanya debur ombak mengisi keheningan di antara mereka.

Setelah beberapa saat mereka terdiam, Arki mulai melepaskan pelukannya. Dia merapikan rambut Kiara dan membantunya supaya bisa berdiri dalam posisi tegak.

“Kau bisa melaluinya, aku yakin kau bisa. Kau sudah terlalu hebat bisa bertahan bersamaku selama ini. Maka aku yakin kau juga akan sangat hebat saat melepaskanku dari kehidupanmu”

Kiara menutup matanya seolah menahan sakit, entah ada sumber airmata tak terbatas atau memang semua lukanya mencair menjadi airmata, mata Kiara tak pernah kering semenjak dari rumah tadi.

“Bagaimana jika aku tak bisa? Apa yang harus ku lakuakan? Bagaimana jika melepasmu justru menyiksaku?” kini suara Kiara tak lebih keras dari sebuah bisikan.

“Tak akan menyakitkan. Kau hanya perlu menutup matamu lalu saat kau buka lagi, aku sudah pergi.” Ujar Arki menyakinkan. Di peluknya Kiara sekali lagi, kali ini lebih erat dari yang sebelumnya jika itu masih mungkin bisa.

Kiara menutup matanya dan mengabadikan pelukan Arki dalam segenap inderanya, rasa aman ini, hangatnya pelukan Arki, aroma sabun mandi yang di pakai Arki, semuanya.

“Saat ku lepas pelukanku, jangan langsung kau buka mata, oke? Hitung sampai tiga lalu kau baru boleh membukanya.”bisik Arki, suaranya parau. Kiara hanya bisa mengangguk.

Hening kembali mengisi, Kiara dan Arki sama-sama menghayati detik dalam pelukan tersebut. Hingga perlahan Arki melepas Kiara lalu mengecup puncak kepala Kiara.

“Kau harus bahagia~” Arki berbisik untuk yang terakhir kalinya.

Kiara tak mampu membuka mata. Sekuat yang ia bisa, dia berusaha menjaga agar kakinya tetap tegak berdiri meski lututnya terasa lemas. Lalu tiba-tiba saja semua berbeda. Kiara tau Arki sudah pergi. Kiara tau ada yang hilang. Seperti lubang besar dalam rongga dadanya, Kiara tak bisa merasakan kehadiran Arki yang biasanya ada di mana-mana. Debur ombak terasa basah menjilat kakinya yang telanjang, butiran pasir pun seolah menarik indera perasanya. Semuanya berusaha menggoyahkan segenap rasa kehilangan Kiara atas Arki.

Disinilah dia sekarang. Sendiri. Tak penting lagi dia ada di mana. Tapi dia hanya sendiri. Seperti hidup sendiri. Perlahan Kiara membuka mata. Hanya laut, hanya malam. Dan pertahanan Kiara cukup sampai di sana. Tubuhnya oleng. Kiara tau dia akan terjatuh dan membentur apapun yang ada di bawahnya, tapi dia sama sekali tak berusaha mencegah. Dia pasrah.

Lalu terasa sepasang tangan memeluknya dari belakang, mencegahnya ambruk ke tanah.

“Kia~”

Orang yang menangkapnya tadi memanggil, Kiara merasakan air menetesi wajahnya,  orang ini juga menangis bersamanya.

Perlahan Kiara menengadahkan wajah, mencari mata dari orang yang mendekapnya saat ini.

***

Nina melarikan mobilnya seperti orang kalap. Dia di sergap cemas dan takut. Mama Kiara baru saja mengabarikanya jika Kiara tak ada di kamaranya malam ini. jendelanya terbuka lebar dan tak ada jejak yang Kiara tinggalkan. Mama Kiara histeris hingga pingsan. Anak satu-satunya, harapan satu-satunya yang tersisa untuk melanjutkan hidup lenyap.

Sepanjang perjalanan Nina menangis. Dia tak tau kemana harus mencari Kiara.

Dari semua teman-teman dekat Kiara, hanya Nina yang tahu rahasia terbesar Kiara mengenai siapa itu Arki dan apa posisi Arki di hidup Kiara.

Kiara mengidap Skizophrein dari bawaan genetik papanya. Dia tak bisa membedakan hal-hal apa saja yang hanya dia bayangkan serta hal-hal apa saja yang dia benar-benar alami. Kadang kala Kiara depresi karena merasa tak ada yang bisa mengerti dirinya.

Orang yang paling dekat dalam hidup Kiara dan bisa menjangkau gadis itu hingga ke alam bawah sadarnya hanya Raka, kakak sulungnya. Terlahir dengan jarak 3 tahun, kakak beradik ini memiliki hubungan sangat dekat. Keduanya sama-sama mengidap Skizophrein dari papa mereka. Hanya saja Kiara lebih beruntung. Kiara bisa memanage  apa yang bisa dan yang tak bisa dia ceritakan pada orang selain dia termasuk pada mamanya. Sementara Raka hidupnya berakhir mengenaskan dengan bunuh diri di usia 12 tahun karena merasa tak ada yang bisa mempercayai tentang semua yang dia lihat atau mungkin juga dia bayangkan.

Semenjak kematian Raka, muncullah nama Arki. Dari cerita mamanya Kiara, dulunya beliau kira Arki adalah teman sekolah Kiara. Hanya cerita-cerita dan kisah tentang Arki yang bisa membuat mata Kiara begitu hidup menurut mamanya. Kehilangan Raka tak lagi mengganggunya setelah sebelumnya gadis itu hampir ikut menyusul kakaknya dengan berusaha memotong nadi di pergelangan tangannya.

Namun Arki mengikuti Kiara hingga dewasa, sedangkan kebanyakan teman imajinasi yang di miliki oleh anak-anak indigo atau semacamnya hanya bertahan hingga usia belasan tahun saja. Hal ini membuat mama Kiara risau sehingga mulailah Kiara berurusan dengan pskiater, obat serta dokter. Semua itu diam-diam justru membuat Kiara tertekan. Karena itu Kiara semakin dekat dan tak bisa melepas Arki.

Di mata Kiara, Arki itu hidup. Nyata dan ada. Sementara mamanya serta Nina tak bisa menjangkau sperti apa wujud Arki yang sebenarnya. Arki yang hanya hidup dalam pikiran Kiara, begitulah mereka anggap.

Nina adalah orang pertama yang Kiara kenalkan pada sosok Arki. Meskipun Kiara sering menyinggung tentang Arki di depan mamanya tapi beliau belum pernah sekalipun di perkenalkan dengan sosok Arki.

Saat menyadari keadaan Kiara, Nina berusaha menyadarkannya. Dia berusaha dengan sabar, namun kadang kala dia juga lepas kendali. Dia tak habisa pikir, Kiara adalah sosok yang cukup populer baik sewaktu masih SMA ataupun kuliah. Dia juga tergolong anak yang cerdas meski fisiknya tak sekuat anak-anak yang lainnya. Tapi kenapa Kiara masih saja percaya dengan hal-hal seperti sosok sosok imajinasi? Kiara punya banyak teman di sekolah dulu, dia juga punya banyak sahabat sewaktu kuliah, dia seperti layaknya gadis normal lainnya yang juga jatuh cinta, putus, berantem atau juga tergila-gila pada satu genre musik. Tapi tetap saja sosok Arki tak bisa dia tinggalkan.

“Kemana kau harus kucari, Kia~ ini sudah terlalu larut.. apa kau baik-baik saja?” berulang kali Nina membisikkan hal tersebut sembari dia menengokkan kepalanya ke segala arah. Dia telah melambatkan laju mobilnya. Di telusurinya setiap jengkal trotoar dengan matanya.


Nina memberhentikan mobilnya ditepi jalan, dia mulai lelah. Tapi tentu saja dia tak bisa menyerah, tak boleh menyerah setidaknya hingga dia menemukan Kiara.


Nina tak bias membayangkan jika saat ini Kiara menangis sendirian, tak tau dia ada di mana, malam gelap dan pikiran Kiara yang kacau. Terdorong oleh perasaan itu Nina kembali melajukan mobilnya, kembali mengamati setiap sudut yang ia lewati dengan teliti.

Sesuatu di dasbor mobil menarik perhatiannya, sehelai note kertas kecil. Nina tak ingat pernah menaruh note di sana, pun juga dia merasa tak pernah memilik note dengan motif seperti yang ada di tangannya.

Nina meraih note tersebut sambil lalu, dan membacanya secara asal. Konsentrasinya masih sepenuhnya di jalan dan sekitar trotoar yang dia lewati. Keningnya berkerut sedikit saat membaca tulisan yang ada di dalam kertas tersebut.


‘laut, pasir putih, tangisan, perpisahan. Bergegaslah, atau kau akan menyesali keterlambatanmu meski hanya sedetik. RQ’


Berulang-ulang Nina membacanya. RQ? Kode apa itu?

Lalu pemahaman menabraknya keras secara tiba-tiba hingga dia memberhentikan mobilnya secara mendadak.

RQ. aR-Qyu. ARKI!!!!

‘bergegaslah atau kau akan menyesali keterlambatanmu meski hanya sedetik’

Nina terkesiap. Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Arki tidak boleh membawa Kiara, kemanapun dia berencana. Tiba-tiba seolah mobil Nina bisa membaca tanda, seakan dia tau kemana harus melaju. Ke arah mana dia bisa menemukan Kiara, dalam keadaan selamat jika dia beruntung.

Airmata Nina kian deras. Tidak, Kiara tidak boleh pergi.

Kurang lebih lima menit kemudian, Nina menemukan Kiara. Tapi dia tak sendiri. Nina bergegas turun dari mobil namun dia tak bisa melangkah lebih dari 5 langkah menjauhi mobilnya berada menuju ke tempat Kiara.

Mata Nina melebar saat samar-samar dia melihat Kiara di peluk oleh seseorang. Pelukan itu aneh. Kiara rasa-rasanya tak pernah sesedih itu. Pelukan itu sangat indah hingga Nina tak sanggup bersuara sedikitpun. Pemahaman muncul tiba-tiba dalam benak Nina. Inilah sosok Arki. Samar di mata Nina tapi keberadaan dia di dekat Kiara membuat semuanya terasa benar, terasa lengkap dan terasa pas.

Hingga akhirnya perlahan sosok tadi melepaskan pelukannya atas Kiara yang membeku, lalu di depan mata Nina sosok tersebut hilang dalam satu kedipan. Nina membelalakan matanya, apa itu tadi? Dia menolehkan kepalanya ke segala arah untuk mencari tapi seperti pemahaman yang tiba-tiba mengenai sosok Arki tadi, Nina pun perlahan mencerna apa yang terjadi. Arki telah pergi. Dia pergi untuk selamanya dari kehidupan Kiara. Kiara telah melepaskan Arki.

Nina menatap tubuh ringkih Kiara yang berada sekitar 50 meter darinya dengan perasaan trenyuh. Bukan yang seperti ini yang dia maksud. Ini akan terlalu menyakitkan untuk Kiara. Ini tak adil untuk Kiara. Dan Nina merasa sangat bersalah.

Seolah memang sudah tertulis dalam script, saat Nina memikirkan hal tersebut perlahan-lahan tubuh Kiara oleng hendak ambruk. Nafas Nina seakan berhenti, lalu dia berlari sekuat dia mampu untuk menyongsong Kiara agar tak terjatuh.

Air matanya kembali mengalir, dia juga melihat Kiara yang telah berhasil dia tangkap dalam pelukannya, menangis. Hati Nina sakit saat melihatnya. Bukan begini sungguh yang dia maksud.

“Kia..”

Dia memanggil Kiara pelan. Kiara mendongakkan wajah untuk mencari tatapan matanya. Sorot mata Kiara yang ada di dalam rengkuhannya terasa menghakimi.

“Kau seharusnya tidak menangis. Aku sudah melepas Arki untukmu, untuk mama. Harusnya cuma aku yang menangis. Kau tidak boleh menangis, Nin. Aku memilihmu, aku memilih kalian diatas Arki. Aku melepaskan Arki” Suara parau Kiara timbul tenggelam dalam bisikan.

Nina semakin deras meneteskan airmata, perasaan bersalah kian menusuk.

“Aku melihat Arki, Kia. Aku melihatnya. Kau benar. Arki nyata. Aku yang  bodoh selama ini tak bisa merasakannya.” Nina tergugu dalam isaknya sendiri.

Kiara menatap jauh ke langit dalam rengkuhan Nina. “Semua itu tak penting lagi.. Arki telah kulepas pergi..”

Dan Nina memeluk Kiara makin erat, tangisannya juga semakin deras. Perasaan bersalah melanda. Nina tak lagi peduli apa Arki nyata atau imaji, Nina juga tak lagi peduli mengenai bagaimana caranya Kiara bisa sampai di pantai di malam se larut ini dengan telanjang kaki. Nina juga tak lagi peduli mengenai sehelai note kecil yang ada di dasbordnya secara tiba-tiba tadi. Tak ada yang Nina pedulikan.

Entah Arki itu nyata atau bukan, tapi bagi Nina Arki pernah memberikan kebahagiaan yang  nyata buat Kiara. Itu yang paling penting.

Entah Arki nyata atau bukan, biarlah itu hanya menjadi rahasia yang tak ingin dia ketahui.

Arki lah yang terbaik. Arki lah yang paling tepat.

Masih segar ingatan Nina saat dia bertengkar untuk pertama kalinya dnegan Kiara mengenai Arki. Saat itu Kiara mengucapkan kalimat pamungkasnya yang tak bisa di bantah oleh Nina.

“Nyata atau bukan, kau tak bisa menyalahkan kehadiran Arki dalam hidupku jika nyatanya kau tak bisa seperduli Arki padaku.”

Kalimat tersebut selalu terngiang dan berdenging di telinga Nina. Semenjak itu dia berusaha selalu ada untuk Kiara. Meski kini dia telah melakukan kesalahan terbesar dengan berusaha mengubah Kiara menjadi sepertiu apa yang dia harap. Sahabat tak akan pernah mengubah apapun yang ada di dalam diri sahabatnya. Dia hanya akan menjaganya dari sisi paling dekat agar tak keluar batas dan tetap di jalan yang semestinya. Masing-masing orang memang berhak memiliki sahabatnya sendiri. Masing-masing orang memang berhak punya rahasianya sendiri. Seperti Kiara. Seperti Arki.

Fin.


NB: uwaaa apaa ini, entah lah. cerita ini telah mengendap dalam keadaan tamat di pikiran saya semenjak 2 minggu yang lalu. namun timbul  tenggelam plot yang mengikutinya saat saya menuliskannya. dan hari ini, Tada~! akhirnya jadi. XD saya kurang begitu tahu apakah skizophrein itu menurun dalam bawaan genetik atau tidak tapi saya menuliskannya begitu di dalam cerita ini. semua kesalahan dan typo serta ke ganjilan plot yang maju mundur mohon di beritahukan pada saya untuk saya koreksi lanjut. tulisan ini tanpa editan sehingga saya menyadari pasti banyak sekali kekurangan yang ada di dalamnya. akhir paragraf (?) saya harap kalian menikmati apa yang saya suguhkan di sini. jangan ragu untuk menulis di kolom komentar jika anda menemukan kesalahan atau kekurangannya, saya akan sangat berterimakasih sekali jika anda bersedia menunjukkan pointnya langsung :3 mohon maklum, saya ini paling malas dalam urusan edit mengedit XD kalo di tinggal ngedit, ntar keburu ilang storyline nya jadi tamat tanpa sempat terkalimatkan XD

7 komentar:

  1. eerrw... ternyata komenku ga deliv TT,TT padahal komenku tadi weis ekspresif banget :'(

    sekarang aku lupa gmn ekspresinya =____=""

    hei hei hei... awalnya kupikir ini kisah maho budhee xD si nina itu nggak suka sama arki karena suka sama si kiara xD xD

    trus arki ini kupikir cewek dan barulah di paragraf berapa itu aku baru ngeeh kalo arki itu cowok =___=" **dodolsedunia

    nah itu eniwe kok di endingnya si nina bisa liat arki yah? dia hantu po jeung?

    nek dari buku yg kubaca, skizopren si kiyara niy ga parah2 bgt :O dunia dia di alam imajinasinya masih riil B)

    BalasHapus
  2. wkwkwk panjang bgt po komenmu yg sebelumnya? XD

    what? maho -___- apa aku harus menuliskan kisah maho asli supaya kamu bisa membedakan antara cerpen ini dengan yg maho? LOL

    konsep awalku malah aku mengarahkan pembaca untuk berpikir bahwa nina gasuka sama arki karena arki punya masalah, entah dia cowok orang atau punya cacat apa gt XD eh ternyata gaberhasil, kamu malah ngiranya maho -____-

    demiiii apaaaaa kamu ngira arki cewekkkkk? >< perasaan nama arki itu cowok bgt deh -________- kamu ki ncen aneh og errrrr..


    dalam beberapa kasus, orang yang terlalu dekat dengan teman imajinasi mereka, maka si teman yang awalnya hanya bisa mereka lihat sendiri lamba laun akan menyerap energi yang di pancarkan oleh si manusia sehingga wujudnya bukan lagi bayangan atau khayalan tapi sejenis ecto atau apa gt istilahnya aku lupa.. hampir mendekati hantu tapi setingkat di bawah hantu lah..


    iya, aku bikinnya si kiara berusaha menjadi normal seperti kategori normal yang orang-orang definisikan og XDDD


    sooo, gimana cerpen ini? aneh ya? susah dipahami ya? wkwkkw aku juga bingung knapa tiba-tiba aku menulis dengan gaya seoerti ini :3

    BalasHapus
  3. kalo dari hape siy panjaang banget cuy O:)

    yaah kan pas awal2 wiw aku rodo ra ngeh budhee xD

    whahahaaa kan nama arki itu nggak berkelamin gituh =_____= jadi cowok cewek bisa bbudhee n kebetulan aku nyambungnya dia ceweek xD


    bentar2....emang iyah bisa menyerap energi sebegituhnya? eh? aku belum pernah ketemu di dunia nyata cuy kalo tokoh imajinasinya kaum schizo itu bisa kita liat juga O:) yang ada maah dia bisa membawa kita mempercayai dunianya "............"




    BalasHapus
  4. ehehhe aku bikin ini tuh inget-inget lupa dr film hide-and-seek nya robert de niro sama dakota fanning dulu itu XDD

    kan aku uda bilang, ini berdasar dr pengetahuanku ttg skizoprhein XDD lagi juga ini kan campuran skizo sama teman khayalan XDDD


    jadi inget (calon)novel skizophrein kita waktu kelas 1 sma itu XD yuk di lanjut #hesyaaaahhh :p

    BalasHapus
  5. hwoe? tunggu tunggu... itu nek ndak salah bapaknya si dakota fanning bukan schizopren tapi sejenis kepribadian ganda yang dia itu ngga inget kapan pas dia jadi psikopat dan kapan dia baik... dia taunya pas di ending dia mati budhee ya? O:)

    kalo novel yang ada tokoh skizo-nya kalo nggak salah inget bintang jatuh atau langit runtuhnya si sidney sheldon..aku lupa pasti judulnya T,T

    Yang jelas novel itu membuatku ketipu >,< kupikir si penderita scizopren itu baek dan dia jadi korban kekejaman suaminya gituh eeh jebul kebalik =_____=


    wkwkwkkwkwkw aku wiw lali kita dulu meh nulis opo toh? ketoke sing serem2 psiko2 ngunu kwkwkw xD


    yooh kapan lanjut? O:)

    BalasHapus
  6. Film itu tuh ttg teman khayalan kyknya --' bukan skhizo, aku lupa ah XD

    wkwkwk apa perlu kita research lebih lanjut buat nerusin novel kolab jaman kelas X dulu itu? XD

    itu ttg pembunuh, yg dia antara sadar ato ga udah ngebunuh orang XD
    dia gatau gmn ceritanya tp tau2 pada hari2 ttentu dia terbangun dr tidur dg pisau berlumuran darah di genggamannya XD

    jadi diterusin bdua atau bertiga ki? Kan dulu rncananya mo ditulis brg sm nessa toooh? XD

    BalasHapus
  7. hei hei hide n seek bukan ttg teman khayalan, tp yang kita pikir temen khayalan dia itu adalah bapaknya sendiri yg punya kepribadian ganda budhee "......."

    eh pas SMA itu kita mo bikin novel yg psikopat gitu bkn t? xD pokoknya seingetku kamu kasiy narasi gini>>

    Anak cowok | Dia melakukan pembantaian | tapi dia nggak ingat dan nggak nyadar kalo dia udah bunuh orang

    wkwkwkwk dulu sih asiik2 aja tp lama2 aku sereeeeeeemmmmmmmmmmmmmmmmmmm bbuuu bayangin begituuuuh TT,TT

    tapi ayoo deh... aku yg bagian cerita pas dia jadi normal aja yoh wkwkwkw xD

    oowwh iyoo wkatu itu kita punya proyek besar sama nesa juga yaa.. doh ntuh anak kemanah nian sekarang ga da kabar tulisannya =____=


    BalasHapus