Kamis, 23 Agustus 2012

[CERPEN] Only Tears


Alfi memandangi kembali kotak kecil di genggamannya dengan pikiran berkecamuk. Ada yang masih tak bisa ia terima. Kembali ditimangnya kotak beludru berisi cincin tersebut dengan gamang, sementara pikirannya kembali mengulang peristiwa yang terjadi satu jam yang lalu.

“Jadi, apa jawabanmu Ve?”

Sepi sejenak.

“Aku sudah pernah bilang padamu, berulang kali malah. Aku tak akan menikah sebelum usiaku 27 tahun, Al”
Alfi mengerutkan kening. Betapa susahnya mengubah pendirian gadis di depannya ini.

“Beri aku alasan untuk diam dan menerima apa yang kamu maksud, Ve” lirih Alfi menuntut lemah.

“Apa lagi, Al? Aku membuka semuanya di depanmu bertahun-tahun yang lalu” Ve tersenyum, sama-sama pahit lalu melanjutkan.”Ini tentang prinsip Al, aku dan prinsipku. Aku dan baktiku kepada mereka yang telah menjadikanku aku yang sekarang.”

Alfi membuang nafasnya dengan frustasi.

“Jadi kau menolakku... lagi?” desahnya, terdengar sangat putus asa.”Katakan padaku, kau mencintai seseorang bukan?” terdengar celetukan yang pedas dari kalimat Alfi yang terakhir.

“Kapan kau akan paham?” Ve sekarang menghadapkan wajah sepenuh nya pada Alfi yang berdiri di belakangnya. 

“Paham mengenai apa? Aku memahamimu, kau yang tak bisa memahami diriku , Ve” tandas Alfi, nadanya kian ketus.

Ve menundukkan kepalanya, sama-sama emosi tak akan membuat semuanya beres bukan?
“Kau benar, aku memang mencintai seseorang..”

“Sudah kuduga, dengan segala macam prinsip sebagai alasan tersebut... kau menyimpan sesuatu dariku” Alfi memotong ucapan Ve dengan kasar lalu mencela tajam.

Ve tak menghiraukan nada bicara Alfi yang membuatnya ingin menangis.

“Aku mencintaimu, aku cuma mencintai kamu. Satu-satunya. Semenjak kita pertama kali bertemu di SMP 10 tahun yang lalu. Kau selalu tau itu.”

Alfi tercekat mendengar jawaban Ve, semua itu sama seperti apa yang ia rasa. separuh hatinya ingin merengkuh gadis berponi panjang tersebut kedalam pelukan dan membawanya pergi. Pergi dari segala macam kesulitan yang menghalangi mereka. 

“Tapi kenapa, Ve?”Alfi masih bertahan dengan keterpurukannya dan menekan Ve makin tajam.
Kali ini sorot mata Ve terlihat tegas.

“Untuk kesekian kalinya, Alfian Pradana. Aku mencintai kamu, selalu. Tapi aku belum bisa menerima apa yang kamu tawarkan untuk saat ini. Aku akan menikah, nanti saat usiaku menginjak 27 dan itu sudah menjadi prinsip yang ku junjung”

Alfi sedikit bergetar, Ve tak pernah menyebut nama lengkapnya kecuali saat dia benar-benar serius.
“Doest it make a sense, ve? Just tell me the truth, please~”Alfi masih tak menyerah.

“I was, Al. And yes, it makes sense at this case. I thought i make it crystal clear to you.”

Alfi menghembuskan nafas panjang. 

“Fine. I got it” Alfi menutup kotak beludru di tangannya dengan hampa. Ada kekecewaan yang besar menggelayut di matanya. Perlahan dia mulai beranjak dari tempat itu. Meninggalkan Ve yang memandanginya dengan mata basah.

“Pada akhirnya selalu kau yang meninggalkanku Al, aku memberimu pilihan, tapi kau memilih meninggalkanku dan hubungan kita..” pelan Ve berkata.

Alfi berjengit mendengar ucapan Ve, tapi dia tidak membalikan punggungnya. Baginya lebih mudah untuknya melakukan semua ini saat dia tak melihat wajah Ve secara langsung.

“Kau memberiku garis merah di tepi jurang Ve, di mana aku cuma bisa mundur atau terjun..” Alfi memejamkan matanya sejenak sebelum melanjutkan. Ada yang terasa perih di dadanya. “Aku melepasmu, Ve.. aku membiarkanmu pergi.” Lalu dia melangkah tanpa menoleh lagi.

Ve terdiam, matanya masih basah. “Yang pergi itu kamu, Al..”bisiknya, tapi Alfi tak pernah mendengarnya.

Kembali dada Alfi terasa perih setiap kali dia mengulang kejadian tadi di kepalnya.
“Kau yang telah memilih, Ve. I can do nothing but give up.” Dia menghela nafas panjang. “Aku patah hati lagi, karena wanita dan cerita yang sama”

***

Ve melipat bajunya dan memasukkannya ke dalam koper dengan lesu. Harusnya tak begini. Bahkan dia belum sempat berpamitan dan mengatakan maksudnya ketika Alfi pergi meninggalkannya kemarin.

Kenapa waktu bisa menjadi belati? Menusuknya dalam di dua tempat, antara prinsip dan keinginan. Dia tak bisa memilih mana yang lebih penting. Namun, keserakahannya justru membuat Ve kehilangan semuanya, lalu sendirian.  

Ve membereskan sisa packingnya degan bergegas, 3 jam lagi pesawatnya akan lepas landas. Diliriknya handphone di samping kasurnya, tak ada notifikasi apapun. Dari siapapun. Walau yang ia tunggu sebenarnya cuma nama Alfi muncul disana. Tapi nothing. Semua harapannya mengempis cepat seperti balon yang kehilangan gas.

“Ve, kita harus cepat. Butuh waktu lama menuju bandara” tiba-tiba mama melongokkan kepalanya ke kamar Ve, membuyarkan segala macam haru dan sendu yang menggelayuti kepala Ve sebelumnya.

Ve segera memberesi semuanya, baju-baju miliknya sekaligus perasaannya untuk Alfi.

***

Alfi berlari kencang menyusuri terminal pemberangkatan. Dadanya sakit karena tak cukup oksigen akibat berlari namun dia tak peduli.

Ve akan ke amerika, Al. Dia dimutasi kesana karena dapat promosi dari perusahaan. Total kontraknya adalah 3  tahun full gaji, Al. Apa kau tak akan menyesal jika tak menemuinya sekarang?

Suara seseorang masih bergaung di telinganya. Memompanya untuk tetap berlari walau kaki dan dadanya berlomba untuk protes. Sakitnya di semua tempat di tubuhnya tapi yang terasa hanya hatinya nyeri. Dia harus bertemu Ve.

Alfi berhenti di tengah-rengah hall dan memeriksa sekeliling, matanya mencari cari keberadaan Ve.
Ketemu!

Ve dengan koper dan mamanya. Syal  berwarna biru langit hadiah dari Alfi saat mereka kelas 2 SMP tersemat di lehernya. Hati Alfi terasa mengembang lebih besar. 

“VEEEE..!!”

Semua orang menoleh mendengar teriakan Alfi, tapi matanya cuma tertuju pada gadis di depannya yang menoleh karena merasa namanya dipanggil.

“Aku cinta kamu Ve, aku cinta kamu.” Alfi melangkah kian mendekat, Ve terpaku dengan berbagai macam rasa terlukis di matanya.

10 langkah..

Alfi mengepalkan tangannya yang terayun teratur di samping kiri dan kanan tubuhnya.
7 langkah..

Dia berusaha membuat ketakutannya hilang, dia menekan detak jantungnya yang berdentum-dentum dengan keras.

5 langkah..

Apakah tindakan yang akan ia lakukan ini sudah tepat? Dia tak bisa memperkirakan bagaimana reaksi Ve nanti.

3 langkah..

Alfi menahan nafasnya..

1 langkah

Yang Alfi lihat adalah sorot keterkejutan Ve saat dia menarik tangan Ve secara tiba-tiba dan membawanya lari menjauhi tempat tersebut.

Semuanya terjadi dengan cepat. Bahkan tak terdengar suara apapun dari mama Ve saat melihat anak putrinya dibawa lari oleh Alfi meninggalkan area bandara

***

Ve dan Alfi.

Cinta mereka dimulai semenjak bangku SMP. Kini usia mereka memasuki ukuran dewasa. Ada cinta yang indah di dalam 10 tahun usia 23 mereka. Biasanya semua orang menemui ujungnya manis setelah segala kisah indah yang ada, entah dalam dongeng ataupun dunia nyata.  Namun Alfi dan Ve tidak.

Ve bersikukuh baru akan menikah di usia 27 sementara Alfi merasa sudah siap dan menetapkan Ve sebagai separuh dari kehidupannya sekarang maupun nanti.

Di sinilah semuanya berawal.

Ve hampir kehabisan nafas, dia kesulitan mengatur persediaan oksigen dan siklusnya yang keluar masuk paru-parunya sambil duduk di salah satu bangku kayu. Mereka sedang berada di tepi danau. Tempat rahasia dimana Ve dan Alfi berbagi semua rasa dan cerita. Tempat yang Alfi janjikan sebagai tanah untuk membangun rumah bagi anak-anak mereka.

Dan untuk pertama kalinya Ve tak menyukai tempat ini. Alfi pun tidak.

Alfi sama-sama kepayahan, berusaha mengatur nafas sambil berdiri di samping Ve. Apa yang ia lakukan tadi gila. Dan handphonenya yang tak berhenti berdering menandakan adanya panggilan,- yang ia tau dari siapa, semakin membuatnya kesulitan bernafas.

“Kenapa, Al?” Ve bertanya singkat di sela rasa nyeri dadanya.

Alfi memandang Ve, ekspresinya tak bisa dijelaskan, dadanya naik turun dan tersengal.

“Pesawatku berangkat 1,5jam lagi..” Ve berhenti sejenak, “Kalau kau ada yang hendak dikatakan, maka sekaranglah saatnya..”tandas Ve.

Alfi mendekat lalu duduk di ujung lain dari bangku kayu yang diduduki Ve, ada sedikit jarak diantara mereka namun tak terlalu jauh. Tangan Alfi merogoh sesuatu dari dalam saku samping celananya. Kotak cincin.

Alfi meraih jemari kanan Ve dan memasangkan cincin tersebut di sana sembari berujar.
“Aku tak peduli dengan semua prinsip itu, yang jelas cincin ini milikmu. Dan aku mencintai kamu, sekarang.. aku usahakan sampai nanti saat usiamu beranjak 27 dan atau hingga kita berdua sama-sama renta.”

Ve terkesiap.

“Apa itu artinya kau akan menungguku, Al?”sedikit ragu Ve bertanya

Alfi terdiam, matanya menembus tepat ke sorot penasaran milik Ve dan mencoba menemukan sesuatu selain rasa takut. Namun Alfi tak menemukan apapun.

“Aku tak bisa berjanji, Ve. Hati itu absurd. Terlalu keras untuk memaafkan tapi terlalu lunak jika dihadapkan pada sebuah situasi yang bisa memojokkan”

“Apa maksudmu, Al?” mata Ve melebar. Dia benar-benar tak mengerti.

Alfi tersenyum, dia meraih satu tangan Ve lalu membawanya ke dada kirinya.

“Aku tak bisa menjanjikan matahari akan tetap berputar esok atau selanjutnya, namun aku berusaha untuk tetap hidup selama aku bisa. Aku tak bisa berjanji untuk menunggumu karena aku tak tau apa yang akan ditemui oleh hatiku besok atau hari-hari selanjutnya, tapi kau selalu tau jika cincin ini milikmu. Aku tak menyuruhmu untuk tetap mencintaiku ataupun setia padaku setelah hari ini, tapi saat kau kembali ke atas tanah yang sama dengan yang kupijak dan masih ada aku di hatimu maka temui aku di sini. Kita akan bersama selesaikan sisa setahun sebelum angka 27mu tiba ” Alfi tersenyum lembut, matanya mengembun. Dia tertohok ucapannya sendiri.

Ve tertegun, lalu menyurukkan kepalanya ke dalam pelukan Alfi, dia meledak dalam tangisan. Alfi mengusap kepala Ve dan mencium puncak kepalanya dengan lambut. Hatinya menghangat tapi juga terasa aneh.

“Pergilah Ve.. ” bisik Alfi.

Ve menarik kepalanya dari pelukan Alfi, lalu kembali  memandang dengan tatapan takut. Airmatanya masih mengalir.

“..tapi Al, bagaimana jika aku kembali dan kau tak ada lagi di sini? apa yang harus kulakukan di sisa setahunku?” sorot mata Ve yang dipenuhi tangis terlihat sangat ketakutan.

Tenggorokan Alfi tiba tiba terasa kering, matanya semakin mengembun.

“Itu artinya aku bukan yang terbaik yang disediakan Tuhan untukmu ” bisik Alfi gamang.

Airmatanya dan airmata Ve sama-sama deras.

***

Ve melingkari angka baru di kalendernya dengan gembira. sudah ratusan angka ia lingkari, hanya tersisa 30 lagi menuju kepulangannya.

Dia mengelus cincin yang melingkari jari manis tangan kanannys dengan sayang. Tak ada siapapun yang pernah ada di hatinya selain pemberi cincin tersebut.

Ve tersenyum-senyum sendiri. Seperti apa Alfi sekarang? Mereka sama sekali tak bertukar sepatah kata melalui saluran komunikasi apapun setelah hari ‘30menit penculikan dari bandara’ itu.

Dan Ve mulai menyusun rencana-rencana di sisa setahun sebelum angka 27nya, tentu saja dengan Alfi.

***

Alfi gelisah dalam duduknya. Sofa nyaman dan pendingin udara di ruangan ini sama sekali tak bisa mengusir  rasa yang bercampur aduk dalam dirinya.

Di balik tirai di depan ia duduk ada seorang wanita yang sedang mengepas gaun pengantin. Pernikahan mereka.

Siapkah ia? Sudah benarkah apa yang ia lakukan? Alfi tak pernah berhenti menanyakan kedua kalimat tersebut kepada dirinya sendiri.

Tanpa sadar jemari kirinya mengelus sebuah cincin emas yang melingkari jari manis tangan kanannya.

Cincin yang berbeda.

***

Inilah harinya. Ve merasa sangat bersemangat. Setelah tiga tahun, akhirnya dia bisa kembali ke area danau ini lagi. Tak ada yang berubah sepengelihatan Ve, tak juga hati dan perasaannya.

Ve memeriksa sekitar. Alfi belum datang. Tapi Ve sudah bisa melihat punggung bangku yang membelakangi arah dia datang, senyum Ve melebar. Bangku itu seperti kata pulang.

10 langkah..

Ve merasa kembali menjadi anak kecil dengan segala perasaan antusias ini.

7 langkah..

Debaran hatinya makin kencang. Ve takut jika dia terkena serangan jantung mendadak akibat semua rasa yang meletup-letup ini. rindu.

5 langkah..

Haruskah ve terus? Atau berbalik dan menunggu hingga Alfi datang? Tak meninggalkan tempat itu, hanya saja Ve merasa aneh jika hanya dia sendirian yang duduk disana tanpa ada Alfi sementara ditilik kebelakang betapa berharganya moment terakhir mereka di bangku tersebut.

3 langkah..

Hei, apa itu? Handycam?

1 langkah..

Tangan ve terulur otomatis, meraih benda tersebut. Tiba-tiba terasa dorongan untuk menyalakannya dan memeriksa apapun yang direkam oleh si pemilik sebelum meninggalkan benda tak bersalah tersebut di sana.

Hati Ve penuh dnegan antisipasi. Separuh hatinya berteriak, apakah Alfi hendak memberi sedikit kejutan sebelum menuntaskan rindu mereka? Ve kembali tersenyum lebar dan menekan tombol on. Dia segera memeriksa rekaman yang tersimpan disana, sedikit tidak sabar.

***

Setahun yang lalu...

Aku mencintaimu Ve, aku minta maaf.

Semua ini tak bisa lagi ku lanjutkan. Matahari yang tak bisa kita prediksi kehadirannya ternyata hari ini menolak hadir. Aku tenggelam dalam gelap dan mencari sesuatu yang bisa aku genggam di dalamnya. Aku berpaling. I don’t even have the right to come near you anymore, don’t love me.

Aku tak lagi sanggup memberikan hatiku, hidup dengan susah payah setiap harinya. Menahan segala rasa dan keinginan untuk menangis. 

Aku tak punya apapun lagi untuk kuberikan padamu. Aku bahkan tak bisa memberikan kata-kata perpisahan yang hangat untukmu. Aku tak berani untuk berharap lagi. Aku telah kehilangan kamu.

Pushing you away like this. I’m a bad guy that only has a heart, ve.

Aku menahannya ve, menyakitkan memang tapi aku bahkan tak punya hak untuk menangis sekarang. Aku menyakitimu. Aku tau. I don’t even have the right to look at you, don’t look at me.

Aku tau, di manapun kamu berada, di sana pula separuh hatiku, tapi di hatiku sudah tak ada kamu. Aku berusaha Ve, aku mencoba. Tapi bahkan dari tempat sekecil hatipun kamu tetap bisa pergi.

Aku tak punya apa-apa untukmu, aku benar-benar kehilangan kamu.

Aku tak berani berharap. Aku tak berani untuk menyentuh jemarimu lagi. Aku hanya akan memberi airmata untuk hidupmu, ve. Aku minta maaf karena aku telah kehilangan kamu.

Mengusir seperti ini, berpaling seperti ini, aku ini lelaki jahat ve. Jangan pernah melihatku lagi. Aku mendoakanmu supaya selalu bahagia.

Alfi menyeka airmatanya setelah merekam semua kalimat tadi. Dia mencoba tersenyum saat mengabadikannya dengan handycam, jika memang tak ada yang bisa ia berikan lagi untuk Ve maka paling tidak Ve masih memenangkan senyum terbaiknya.

Dan Alfi berharap ini adalah yang terbaik. 

Alfi menyimpan handycam tersebut ke dalam laci meja kerjanya sebelum beranjak pergi, hari ini wanita yang ia cintai ulang tahun. Wanitanya. Bukan Ve.

***

tersesat dalam belitan sulur yang orang lain tanam.
bersembunyi, menggapai-gapai kuntum yang mekar. berharap sedikit keindahan itu akan menular.
kemana hujan yang satu dekade lalu masih setia?
bangku ini oleng tanpa kamu di ujung yang satunya.
bergegaslah.
saat ku buka mata, mimpi itu akan segera menguap.
tak bisa kutahan engkau bukan.. bukannya tak bisa, tapi cuma belum.

 Ve tidak menangis. Matanya menerawang jauh dengan handycam di tangan. Teringat ketakutannya dulu. Semua perasaan bahagia yang ia miliki rasanya telah lenyap. 

“Itu artinya aku bukan yang terbaik yang disediakan Tuhan untukmu”

Kalimat terakhir Alfi di tempat ini kembali bergaung. Memburu dan mengepung. Ve tak punya tempat untuk lari. Satu-satunya kata pulang telah dicerabut paksa dari tangannya. Dia merasa menjadi tunawisma.

                                                                       Fin.

-Mungkin wanita bisa menyimpan sekaligus melupakan, tapi rata-rata pria hanya akan melupakan- Ve, Only Tears 2012 Chiqux.


cerita ini terinspirasi dari lirik dan lagu Only tearsnya Infinite :) 

1.27AM 23/08/2012
-chiqux-

1 komentar:

  1. Trenyuuuuh :((( ngapain sih Ve keras kepala bgt x( cowok sebegitu baik disia-siakan TT______TT

    BalasHapus