Senin, 03 September 2012

[cerpen] produk gagal kayaknya nih -___-


Aku menghela nafas sekali lagi. Mencoba menyabarkan hatiku yang di dalam. Debur ini tak mau hilang, Tuhan. Bagaimana jika sekalian saja jantung ini tak usah berdetak lagi? Mungkin itu akan terasa ribuan kali lebih baik.
Hari ini adalah harinya. Batas akhir dari penantian dan harapan yang tak bisa ku ucapkan. Mungkin malah sudah terlambat. Tapi kenapa aku tak menyerah?
Kembali ku tengok halaman depan rumahku dari balik kaca. Tak ada. Tak ada Pak Pos yang akan kemari hari ini. Harusnya sudah berminggu-minggu lalu ketika mereka mengedarkan semua undangannya termasuk ke Rena. Tapi aku masih merasa spesial, mungkin aku yang belakangan. Atau mungkin dia sendiri yang akan datang.
Tapi, hei, tentu saja tak ada. Memang harusnya tak ada undangan untukku kan?
Karena seharusnya hari ini aku yang ada di sampingnya. Menjadi mempelai wanitanya. Di hari pernikahannya. Pernikahan Egi.
Aku mendesah sedih. Tapi kenapa hari ini aku masih di sini? Mendekam di rumah dan patah hati.
***
5 tahun yang lalu..
“Egiiiii yang bener dong masangin pita-nya!!” Elena berteriak pada Egi yang sedang nyengir, pita yang seharusnya dipake untuk menghias undangan justru dia pake buat mengikat jempol kaki Elena dengan kaki meja.
“Aku bosaaaaaaaan~!!” setelah puas tertawa, Egi membanting punggungnya pada sandaran sofa sambil melenguh keras.
“Sabar ya Gi, ntar kalo udah selesai bantuin bakalan mbak traktir kalian makan. Terserah apapun yang kalian mau.” Bujuk mbak Vita, kakak Rena yang akan menikah. Keningnya sendiri berlapis peluh, karena seharian mereka sibuk masang pita di semua undangan.
Ugh, gara-gara Wedding Organizernya mogok nih. Mereka lepas tangan gitu aja. Jadinya sekarang Elena, Egi dan Rena yang disuruh bantuin, kan?
“Lagian mbak Vita noraknya kebangetan deh, apaan undangan pake pita. Ini lagi, kenapa sih kalo mau ngehadirin nikahan orang diwajibin pake kebaya? Its so last year bangeeettt, Ih~” Rena keluar dari salah satu kamar terdekat, sembari merapikan kebayanya dan mencibir kakaknya. Egi kembali tertawa, Rena aneh banget pake kebaya. Mana ada pake kebaya tapi jalannya tetep gagah kayak cowok?
“Rena, kamu tiap hari aja pake giniannya, yakin nih kita semua bakalan awet muda kebanyakan ketawa hahaha”
Elena melempar asbak terdekat ke arah Egi, “Jangan pernah bercanda dengan penampilan seorang wanita, kamu nggak akan pernah tau apakah kamu sedang membunuh kepercayaan dirinya atau mencuri separuh hatinya” ujar Elena serius, Egi mengaduh sambil mengelus keningnya yang terasa nyeri gara-gara lemparan asbak dari Elena.
“Ih serius banget sih nyonya satu ini..”gerutu Egi, namun dia melanjutkan dengan nada serius ke arah Rena “Tenang, Na. Nantinya kalo aku nikah kamu bebas pake baju apa aja, mo pake kostum bola juga terserahhhhh..” mbak Vita dan Elena nyengir mendengar celoteh Egi.
“Ide bagus, Gi. Aku pake bikini aja ya, muahahaha..” sambar Rena.
Egi tersedak, “Edan, sekalian aja nggak pake baju, Na..” ujarnya sembari memutarkan mata mendengar ide sinting Rena.
“Hahaha, kalo itu mah ntar pengantin prianya yang seneng. Eh, tapi undangannya ntar jangan pake pita lho Gi, ilfil jadinya sama pita nih~” bahkan Elena ikutan menggerutu gara-gara pita, Mbak Vita meneguk ludah  serba salah.
“Dan.. daaaan undangan buat Rena harus ada berliannya minimal satu! Wajib! Apaan undangan isinya kertas doang, ngabisin stok pohon di dunia aja. Kalo misalkan ada berliannya kan lumayan bisa disimpen hahaha” Rena yang duduk menelusup di sela Elena dan Egi tertawa keras. Yang lain cuma bisa menggelengkan kepala, otaknya Rena nih emang nggak pernah sehat kayaknya.
“Iyaaaa, ntar undangannya dikasih berlian deh khusus buat Rena~” sahut Egi, tawanya masih terurai.
“Buat aku jugaaaa dong, Gi~”Elena merengek sembari menarik ujung lengan kaos Egi.
“Kamu nggak perlu pake undangan dong, El sayaaaaang~ kan kamu yang bakal jadi mempelai wanitanya” Egi mengedipkan mata dengan genit.
Rena, Elena dan Egi memang sahabatan dari lahir, tapi belakangan Elena dan Egi menjalin hubungan khusus. Rena tidak mempermasalahkan, malah dia semenjak SMP berkoar-koar memproklamirkan bahwa dia nggak akan menikah, alias melajang seumur hidup.
Elena tersipu, mukanya memerah dengan cepat. Rena memeragakan orang muntah dan mbak Vita berteriak-teriak geli karena interaksi lovebird tersebut.
***
Tanganku tanpa sadar menghapus air yang meleleh dari sudut mata. Masa-masa bertiga itu entah hilang kemana.
Lima tahun memang bukan waktu yang singkat, tapi semua terasa sangat cepat bagi kami.
Ku ambil sehelai kertas dari bawah bantal yang sudah kusut karena berulang ulang kubaca sekaligus tertimpa airmata. Surat dari Egi. Surat terakhir Egi sebelum dia menikah. Surat pertama dan terakhir Egi setelah kami putus dan dia menemukan gadis lain.


Buatmu, yang kucintai lebih dari apapun, inilah yang terakhir dari kebersamaan kita.
Tak akan ada yang bisa kita ubah, Len. Meskipun kita menangis, meski berulang kali kita menengok ke belakang. Akulah yang akan selalu berkata tidak. Akulah yang memutuskan perpisahan kita.
Aku yang selalu terlihat kuat. Aku yang berusaha untuk kuat. Aku yang kau lihat terlalu kuat untuk lumpuh.
Inilah yang sebenarnya. Akulah yang lemah dari hubungan ini, bukan cinta kita. Aku pengecut yang tak punya kemampuan untuk melindungimu selalu.
Jangan pernah mencintai seseorang sepertiku.
Jangan merindukan seseorang sepertiku, lagi.
Temukan yang lain, dia yang tak bisa melewati sehari tanpamu, dia yang mencintaimu hanya melihat padamu dan hanya membutuhkanmu.
Ini menyakitkan, El. Melihat kau yang selalu berusaha untuk hubungan kita, ini menyakitkan.
Aku hanyalah pengecut.
Bahkan jika sekarang kita menyesali perpisahan pun, aku tak bisa berbuat apa-apa selain mengucapkan selamat tinggal. Inikah pria yang selama ini kau cintai, El?
Jangan lagi menangis, El. Semakin kita menghitung hari-hari yang telah lewat, hanya sakit yang ada. Mari kita berbesar hari untuk melupakan, jangan pernah merindukan cinta bodoh kita yang sudah terlewat. Kita tak punya tempat untuk kembali.
Temukan seseorang yang hanya melihat kamu, yang hanya membutuhkanmu. Dia yang tak bisa melewatkan seluruh harinya tanpa ada kamu di dekatnya.
Kamu harus bahagia, El. Kita harus bahagia. Let’s never meet again…


 Kembali aku berurai airmata. Inikah perpisahan, Gi? Atau sebuah pengusiran? Apakah ini kesalahan? Aku yang selalu saja berdoa agar aku tak pernah melihat yang lain selain kamu. Aku yang hanya bisa mencintai kamu.
Terdengar kembali suara Rena di telingaku. Dua tahun lalu saat aku dan Egi belum benar-benar putus. Saat kami bertiga masih rukun.
Aku dan Rena janjian untuk bertemu di salah satu festival Kembang Api tahun baru di Jepang. Perusahaan menugaskanku untuk mengurus sesuatu di sana sedangkan Rena memang menetap di Jepang setelah kami lulus kuliah.
“Apa yang kau minta?” Rena bertanya dengan penuh rasa penasaran setelah melihatku membuka mata. Kami baru saja mengucapkan permintaan tahun baru ketika itu di 20 detik pertama setelah pergantian tahun.
“Kenapa kau ingin tahu?” aku menggoda Rena dengan tidak menjawab pertanyaannya langsung, sebagian dari hatiku memang tak ingin menjawabnya.
“Uh, oh. Ayolaaah~” rena merengek lagi.
Aku tersenyum, “Aku meminta agar kita selalu tetap menjadi sahabat, aku meminta agar aku hanya akan mencintai Egi, aku meminta agar Egi tak pernah melirik cewek lain selain aku, puas?” sahutku sambil mencubit hidungnya. Rena terkekeh. 
Tapi saat tawanya berhenti, tatapannya lurus ke arahku dan dia bicara dengan raut serius. “Apa kau yakin tak salah mengucapkan permintaan?”
“Maksud kamu?” sebelah alisku naik mendengar ucapan Rena barusan.
“Kenapa kau meminta hanya mencintai Egi? Kenapa kau meminta supaya Egi tak melihat cewek lain?”
Aku terdiam. Sejujurnya aku memang tak tahu jawabannya. Aku hanya menunggu Rena mengungkapkan apa yang dia pikirkan karena dia selalu punya sisi berpikir yang berbeda dari orang kebanyakan.
“Setia itu bukan melihat hanya pada yang satu dan membutakan diri pada yang lain, setia itu yang terlihat hanya yang satu meski selalu ada yang lain di sekitarmu.” Pelan Rena berkata sambil memalingkan wajahnya dari mataku.
Saat itu aku tak memahami sepatah katapun dari apa yang diucapkan rena, aku hanya menganggap dia berpuisi atau semacamnya, tipikal seorang Rena.
Tapi hari ini aku tau apa yang dia maksud. Ini adalah kesalahan. Aku termakan permintaanku sendiri. Aku tak pernah bisa lepas dari Egi. Aku tak bisa melihat yang lain selain Egi setelah perpisahan kami. Aku selalu merasa menjadi orang yang paling menderita.  Patah hati dan kecewa telah membuat hidupku suram, siapa yang salah? Aku. Aku yang memilih sakit hatiku sendiri. Aku yang memelihara rasa kecewaku sendiri. Aku tak pernah benar-benar berusaha untuk pergi.
Kubaca kembali apa yang Egi tuliskan. Semakin aku menelusuri tiap katanya, semakin aku jatuh.
“Jangan pernah mencintai seseorang sepertiku.
Jangan merindukan seseorang sepertiku, lagi.”
Egi benar. Buat apa? Jika Egi sendiri merasa dirinya tak cukup kuat untuk cinta kami, apa lagi yang harus aku pertahankan? Cinta macam apa yang selama ini aku perjuangkan mati-matian? Seseorang yang bahkan percaya dirinya tak cukup baik buatku, apa lagi yang bisa aku dapatkan dari dirinya? Apakah aku bersedia hidupku punya pemimpin yang seperti itu?
“Temukan yang lain, dia yang tak bisa melewati sehari tanpamu, dia yang mencintaimu hanya melihat padamu dan hanya membutuhkanmu.”
Kenapa aku tak pernah mencoba? Dari mana aku tahu bahwa aku tak bisa hidup tanpa Egi jika mencoba saja aku takut?
Seluruh badanku gemetar. Aku menggigil karena kebodohanku. Apa yang kudapat dari dunia selama ini? Egi hanya satu orang, tapi kenapa aku merasa seperti seolah seluruh dunia pergi dariku? Egi yang cuma satu buat dunia, kenapa aku merasa justru dia seluruh duniaku?
Dan apa yang kudapat sekarang? Nothing. Aku kehilangan cinta kami. Dan yang terburuk, aku kehilangan persahabatan kami. Saling diam dan mengacuhkan, pura-pura tak mengenal dan mengasingkan satu sama lain. Inikah yang kuharapkan? Inikah yang kumau?
Rasa malu memenuhi kepalaku. Ternyata aku yang menjatuhkan diriku sendiri, aku yang merendahkan diriku sendiri. Aku yang menyakiti diriku sendiri.
Kukepalkan tanganku, kupukulkan sekali ke arah kaca rias di kamarku. Cuma retak. Tapi ini untuk patah hatiku.
Kupukulkan sekali lagi, sedikit lebih keras. Ini untuk segala waktu yang kusia-siakan dalam penantian dan harapan.
Kupukulkan sekali lagi, semakin keras. Ini untuk kebodohanku. Untuk tindakanku yang tak lebih dari seorang pengemis.
Lagi, ku hantamkan kepalan tanganku ke arah kaca yang sudah remuk dan tinggal beberapa kepingan yang masih menempel, sisanya berserakan di antara peralatan make up yang terjajar rapi. Semuanya terkotori oleh darah. Tak kurasakan sakitnya.
Kupukulkan sekali lagi. Ini yang paling keras hingga punggung tanganku mati rasa. Aku marah. Marah pada diriku sendiri. Rasanya sampai sakit memikirkan betapa bodohnya aku hari-hari kemarin. Aku masih saja berdarah-darah di sini sementara Egi sudah pergi kemana-mana dan menemukan tempat impiannya. Apa yang kudapat dari mengasihi diri sendiri?
Aku kembali menangis. Keras. Aku tak peduli jika seluruh orang rumah tahu, toh mereka sudah tahu jika aku patah hati. Mereka juga tak akan peduli. Tak ada yang peduli.
Sudut gelap ini terasa amat nyaman. Dengan tangan berdenyut-denyut menahan sakit sekaligus nyeri di hati aku memeluk lututku sendiri dalam diam. Aku menangis tapi bahkan untuk mengeluarkan suaranya pun aku terlalu malu, aku sudah terlalu banyak menangis.
Sesuatu yang bergetar membuatku hampir melonjak kaget. Suara sekecil apapun akan terasa sangat keras jika hatimu sedang sensitif bukan?
RENA calling..
Aku masih mengantongi ponselku ternyata, dan dia masih tetap berfungsi tak peduli berapa kalipun ku buang benda ini karena tak pernah ada nama Egi lagi yang terpampang di layarnya.
Dengan tangan kiriku yang normal ku sentuh layarnya lalu ku geser tanda tombol panggilan,
“............” aku mengangkat telepon dari Rena tapi aku tak hendak berbicara sepatah katapun. Aku yakin aku tau dimana dia sedang berada saat ini.
“El.. ” sejenak terdengar keraguannya saat memanggilku.
“Mmmm~” aku menyahutinya singkat, sekedar berbasa-basi. Bagaimanapun juga aku sudah tak punya seseorang yang peduli. Jika aku juga mengusir dia yang ada mendekatiku, itu akan terasa ribuan kali lebih menyakitkan untukku sendiri.
“Kamu pasti tak akan percaya apa yang mau aku ceritakan ini. Pestanya ngebosenin dan makanannya, ugh its horrible. These food tasted like shit.” Aku sedikit terkekeh mendengar umpatan Rena.
“Have you ever taste your own shit?” kalimat itu terlontar begitu saja, seolah otomatis.
“unfortunately, hell yes i was.” Rena kembali mengumpat sesuka hatinya, bibirku menulas senyum meski sisa airmataku belum kering. “have i told you the whole story about this before? Here we go.. jadi di saat aku umur 5 bulan..”
Air mataku kembali deras. Aku hafal dengan jelas kata perkata dari cerita Rena itu. Ini bukan kali pertama aku mendengar darinya. Tapi bukan itu yang membuatku menangis.
Dulu kami, aku dan Egi, sering meledek Rena mengenai cerita ini. Tapi toh Rena juga masalah untuk menceritakan berulang-ulang selama kami masih bersedia mendengarkan. Tentu saja aku dan Egi selalu bersedia mendengarkan.
Tapi bukan ini yang membuatku kembali menangis. Aku masih saja tertinggal di belakang. Kalimat yang aku ucapkan secara otomatis tadi adalah kalimatnya Egi, dia yang selalu mengomentari negatif terhadap cerita Rena. Kenapa aku amsih tak bisa lepas dari Egi?
“..pantai. Gimana, El?” sayup-sayup aku mendengar Rena bertanya. Dia masih di seberang ternyata.
“Eh, pantai?”
“Iyaaa, pantai..sssst, di balik kebaya ini aku pake bikini lhoo, haha. Abisan si Egi katanya dulu aku boleh pake apa aja kalo dia nikah, eh ujung-ujungnya disuruh kebayaan juga. Wuuu~ ”aku mendengar Rena menggerutu.
Anehnya walaupun aku masih menangis, tapi rasanya tak ada lagi nyeri yang menusuk-nusuk sekarang. Meski nama Egi berulang kali disebut, tapi ternyata tak sesakit dulu.
“El..”tiba-tiba saja nada suara Rena terdengar sangat serius.
“Ya?”
“Kamu ngga akan pernah sendirian.” Ujarnya sangat pelan. Aku diam tak menanggapi.
Sepi terdengar menyela pembicaraan kami. Lalu Ren akembali melanjutkan dengan nada biasanya yang ceria.
“Jemput kamu 15 menit lagi ya? Dandan yang cantik dan pake bikini paling keren.” Aku hanya tertawa menanggapinya.
“Dan bersihkan apapun yang berdarah di sana. Kau tau... aku bisa pingsan mendadak saat melihat darah.” Dia menambahkan dengan sangat pelan, hampir serupa bisikan.
Aku tercekat. Dia tau. Dia memang selalu tau. Tapi dia tidak menyalahkan tindakan bodohku.kembali airmataku meleleh, tapi kali ini karena terharu. Kuputuskan hubungan teleponku dengan Rena. Ternyata menyenangkan sekali jika kita mampu dipahami tanpa harus berkata apa-apa.
                                                            fin


uwaaa apaan nih? entahlah, saya hanya menuliskan sesuatu yang muncul di kepala saya hehe. endingnya jelek bgt ya? emang sih. saya kehilangan plot cerita saat hendak sampai di akhir bagian hiks..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar