Rabu, 26 September 2012

memories


My heart, my tears, again the memory of you

Drop by drop they fall onto my chest I cry and cry, and with these memories that won’t be erased

Today my empty heart is drenched again

We liked each other, didn’t we? I used to make you laugh just by smiling

We cried together, didn’t we?

You would hurt too when you saw my tears

—-Memories-Super Junior

(via haehyuks)

Selasa, 18 September 2012

Tentang Mimpi~ *ceritanya*

hey, kamu? apa mimpimu?

awalnya ini hanya pertanyaan, lalu berujung pada kenangan. saya tak sempat menanyakan mimpi orang-orang dekat yang berlalu begitu saja dari kehidupan saya. beberapa diambil pemiliknya, tapi beberapa berganti hatinya.

tapi saya tak pernah mendapatkan pertanyaan ini dari diri saya sendiri.

jika pertanyaan tersebut sekarang baru terlontar, maka apa jawaban saya?

sejujurnya saya tidak tau, saya tak bisa memilih mana yang akan saya ambil sebagai jawaban. saya punya banyak mimpi yang masih harus diseleksi. beberapa adalah mimpi kacangan seperti, hanya ingin jadi istri yang baik buat suami saya nanti. namun beberapa terkesan sangat tinggi, saya pernah bermimpi punya museum sendiri. museum apa? rahasia. rahasia? ya museum rahasia :)) silahkan tebak isinya.

beberapa mimpi saya yang standart sama seperti mimpi orang kebanyakan, namun terasa sangat kuat hingga harus tercapai. harus? siapa yang mengharuskan? adakah keharusan? tentu saja, saya sendiri yang mengharuskan, buat saya sendiri juga. atas kuasa Alloh tentunya.
jadi, apa mimpi standart itu? sederhana, saya pengen bisa berangkat haji bareng orangtua dan adik saya. kami ini keluarga kecil, rasanya akan menyenangkan jika saja saya bisa memberangkatkan seluruh anggota keluarga saya menuju tanah suci sebelum saya menikah nanti, yuk diaminin :))

lalu mimpi-mimpi yang lain adalah mimpi masa kecil saya, lebih sederhana dari yang paling sederhana namun terdengar megah. salah satunya saya pengen jadi arsitek dari kecil. sederhana, seharusnya saya bisa. tapi mimpi ini terlalu megah. kenapa? susah maaaan, tangan saya ini bukan tangan untuk menggambar. tangan saya lebih lincah untuk menulis daripada menggambar. jadi? entahlah, mimpi itu lalu terpecah menjadi pagi :)) mungkin bukan saya fokusnya, mungkin sisa mimpi itu bisa terwujud dalam hal apa saja. siapa tau nanti suami masa depan saya adalah arsitek? siapa tau suami adek saya nanti adalah arsitek? siapa tau jika nantinya saya akan punya teman dekat arsitek kan? Alloh selalu menyimpan setiap mimpi, tapi mengembalikan mimpi tersebut pada kenyataan kita dengan berbagai cara. khusnudzon adalah doa :)))

berbicara mengenai penulis, beberapa hari yang lalu saya sedikit sakit hati dengan salah satu komentar. saya dibilang menulis karena sensasi. apa artinya?

katanya orang bisa menguasai dunia dengan tulisan. masuk akal. tapi pembelaan saya hanyalah senyuman. sungguh saya tak butuh dunia jika itu hanya akan merugikan kepuassan batin saya.

apakah ada yang tau, saya tak pernah berniat menjadi penulis. tak ada niatan menjadi penulis. saya menulis sebagai hobi. pengejawantahan rasa dalam kata karena saya tak cukup kuat dalam suara.

menulis adalah hobi, menulis adalah identitas saya. bukan semata-mata saya menulis karena ada tujuan. tapi saya menulis sebagai pengekspresian. 

pernahkah ada yang mendengar wanita berkepala gengsi? ya, itu saya. saya ini wanita berkepala gengsi. saya enggan menuangkan tangisan, bahagia, kecewa dan kemarahan saya melalui suara. pun juga saya tak akan pernah bersedia mengalamatkan semua itu langsung kepada si tertuduh. karena itu saya memilih bersuara melalui kata. bukankah akan lebih bermanfaat jika keindahan setiap kata yang saya pilih selalu memiliki 'rasa'?

karena itu saya tak bisa setiap hari menulis. saya hanya menulis jika hanya ada yang tak muat saya tampung di hati. jadi jangan harapkan saya buat jadi penulis dan berkata setiap hari, saya tak akan mampu hidup dibawah tekanan seberat itu. saya melahirkan kata karena rasa, bukan kewajiban.

saya lebih suka menulis puisi, tapi saya juga tak menolak jika harus mengungkapkan rasa melalui rentetan kata yang lebih panjang seperti cerpen atau novel.

saya tak pernah menghitung jumlah tulisan saya, tapi berikut beberapa akan saya bagi rahasia rasa yang terkandung di dalamnya.

semua ini tentang pertengkaran
Ditangan seorang balita, ada perseteruan lucu antara siput dan kura-kura. Siapa yang menang saat ada lomba lari? 
Kura-kura punya rumahnya sendiri, siput pun tak kalah cemerlang tempatnya melindungi diri. 
Dari kesekian obyek mainan si balita, mereka sama-sama pemenang untuk kategori yang terpelan. 
Tapi jika mereka berdua saja? 
Pernah tercipta kisah, kura-kura dan siput bergandengan, apa ada yang meminjamkan tangan untuk mereka? Entah. Kabar cerita mereka dulunya mesra. 
Lalu ada tsunami. Siput menggelinjang, asin laut yang lancang memeluk daratan membuatnya menangis. Pedih sekali. 
Sementara kura-kura gembira, senyumnya melebar hingga telinga. Laut ini teman barunya, ada janji banyaknya kura-kura yang secantik ia. 
Siput patah hati. Dengan sisa-sisa cangkang yang rapuh oleh asin, dibawanya kulit berlendir mengisut menjauh. Siput sengaja lupa bahwa dia kenal kura-kura. 

Kura-kura menggelinding jauh diatas pasir. Hei, ini memang rumahnya yang lain. Hari-hari yang ada siput-nya dipinjam ombak pergi, sepertinya belum akan dipulangkan. Pun juga kura-kura lupa. 
Lantas dua belah tangan kecil milik balita ini menabrakkan kenangan kura-kura dan siput. Mereka hanya menjadi dirinya. 
Balita tak tau, siput yang cangkang barunya semegah istana ini hancur lebur dalam lendir yang ia banggakan. 
Balita tak tau, kura-kura gagah berkulit keras yang cangkangnya sekuat baja bermotif ini.. Eng.. Entah, apa yang ia lakukan? Dia mengelus parut di kepala. Rupanya tsunami meninggalkan luka. 
Dan saat balita lelap. Siput serta kura-kura kembali menjadi pemenang, dalam perlombaan 'paling tak peduli' 
apa ceritanya tamat? Belum. 
Siput masih suka mencuri, dedaunan ingatan yang ia makan, pahit oleh rasa tak nyaman. 
Kura-kura yang mengantuk dalam sepoi pantai, mengeruk lebih dalam, parut-parut yang dulunya terlarang bahkan untuk ia sebut dalam bisikan. 

Semua telah beda. Kecuali.. 
Sama-sama. Kura-kura dan siput sekuat tenaga mengalihkan tanya tabu yang hendak muncul. 
Jika kutolehkan apa yang disebut kepala, apa masih kan kutemukan ia di sana? 
Dan siput kembali makan. Dan kura-kura kembali menyelam. 
Jejak lendir sebagai tanda. Jejak pepasir menggurat luka. Semua terbaca ketika semburat matahari tenggelam menjingga.  
http://www.facebook.com/notes/erika-paprika-rikku/judulnya-yang-lama/10150581033681736
ini tentang sebuah rasa mengenai saya dan seorang sahabat. tentang segala macam persaingan yang tak terucap di antara kami. kami yang tak berhati-hati, semua itu menjelma menjadi iri. paling tidak saya jadi belajar, harus berhati-hati dalam mengucapkan motivasi. kalimat sederhana seperti 'dia aja bisa, kenapa aku tidak?' memiliki sesuatu yang negatif. lebih baik berdoa saja, 'semoga aku bisa sukses seperti orang-orang sukses lain dengan jalan ku sendiri' bukankah itu terdengar lebih adem daripada memperbandingkan diri kita dengan orang lain?

yang kali ini tentang rindu yang tak pernah bisa saya ucapkan

mantra itu berbalik. aku pemiliknya.  kudendangkan dalam gema hati-hati.jika ku ceritakan tentang bejana yang berisi parfum, bersediakah kau dengar tuntas?  bejana tanah itu bejana biasa. isinya air mawar. menggelegak penuh ke tangan manusia-manusia yang mendamba. saat tersesat di gurun, bejana kehilangan dirinya. musnah segala basah yang didalamnya. air mawar sirna ke udara. orang-orang masih sudi dekat, mawar dalam aroma menghampiri hidung-hidung yang peduli. kau tau artinya? tak terlihat bukan berarti tak pernah ada.pernah ada cuma berarti memberi jejak. kau dua-duanya, pernah ada dan memberi jejak.  sejak kapan ku lupa? semua pintu tertutup.tak ada anak kunci yang perlu bertemu selotnya, bahkan tak pernah ada lubang kunci. tapi kenapa jawaban atas pertanyaan yang tak pernah ku ungkapkan itu sedemikian buruknya? melihatmu terbujur kaku dalam mimpi sementara tak kurasakan lagi bukti kehadiranmu dalam mataku jauh lebih menakutkan. apa kabar? apa kabar? apa kabar? ingin rasanya kusublimkan diriku saat ini juga. merisaukan sesuatu yang bukan urusanku bakal merendahkan angkuhku hingga dasar.tapi bukankah kau pernah menjadi urusanku? kita tak lagi bertemu dalam doa-doa baik, aku bahkan bertanya-tanya, kapan terakhir kalinya kau muncul dalam doaku? jadikenapa?kenapa?kenapa? aku tak pernah membencimu, aku hanya membiarkanmu hidup tanpa kusadari. seperti lochness, seperti yeti, seperti naga. aku tak pernah tau kau ada hingga aku bertemu kamu. jelas bukan? jadi kenapa kita tak berbalik saja saat ini? memberikan senyuman kepada satu sama lain dengan tulus. memang tak ada benci, tak ada permusuhan, tapi tak bisa dipatahkan pula bukan jika normal ini tak senormal yang pernah ada?
http://www.facebook.com/notes/erika-paprika-rikku/you-dont-know-me/10150440373441736 

apa ada yang tau rasanya rindu? semua orang pasti pernah mengalaminya kan? tapi bagaimana jika orang yang kamu rindukan adalah orang yang pernah membuatmu menangis karena sakit hati? inilah rasanya, inilah kalimatnya. :))) ah, lagi-lagi, wanita berkepala gengsi. jangan meniru keburukan saya ini ya? :D


yang ini tentang sebuah janji

Masi ingat, kau perkenalkan dirimu sbg angin. Berdesir lalu tanpa beban. Kau terpa, aku tak kurang. Kau lalu, aku tak merindu. Aku pun tak kenal.

Kau lantas hinggap, menelusup. Akulah manusia pertama, ditangan tergenggam angin. Hidup. Tak mau lari.

Apa artinya muka ini? Senang? Sebal? Sedih? Kecewa?Aku terpaut titahmu. Kau titipkan kunci emas bergagang bintang. Takjub saja aku.

Tak pernah aku ingat tanya, apa jodohnya? Bagiku titahmu mewakili segala kecambah penasaran yang tak sabar. 
Sembari menghela huruf huruf liar, kau jelaskan tembang manis. Kau bilang ada pintu sebagai pengantin kunci ini. Semakin mataku takjub. Wah, apa yang akan kulihat nanti?
Tawamu membariskan waktu, deretan nada nada yang kan kulalui untuk menerimanya.
Semua terus laju, begitu pula anginku. Ketika yang kulihat hanya diam, kujatuhkan kunci redam dialiran air.Sekiranya aku tak kan rindu.

Waktu yang tersisa dari barismu hanya tinggal denting jam. Meragu hujanku. Bagaimana jika kado pintumu tiba? Dengan apa akan kubuka?Gempa tawamu. Menelan segala pongahku kemarin. Entah.
 http://www.facebook.com/notes/erika-paprika-rikku/entah/428075881735
uhm, bagaimana saya menjelaskan ini ya? ini tentang ketakutan akan sebuah janji intinya, janji mengenai hati. layalnya orang yang diberi janji, apa yang anda rasa? cemas bukan? bagaimana caraku agar bisa bertemu penuntas janjimu? begitulah kira-kira. dan inilah kalimat yang mampu terlahir dari segala kecemasan saya mengenai janji tersebut. kalau istilahnya anak sekarang, di PHP-in lah :DD


yang ini tentang penghianatan.

kotak kaca kecil. hujan yang didalamnya selalu jadi berita. mudah terbaca. tak mengapa. kejujuran rasa biasanya dipatok tinggi oleh harga. fermentasi dari ribuan peristiwa, memadat hingga jadi kerak. ini yang dinamakan persahabatan, bukan?  benihnya dari huruf-huruf yang menari, tapi akarnya berada jauh di hati. bukankah kesalahan? tapi tak ada yang menganggapnya. jika dibalik, inilah ketulusan. lantas kotak kaca kecil, retak satu garis. hujan didalamnya mengering jadi curiga. terjun bebas dalam palung, inilah kegelapan. siapa yang mampu berdiri?  kami angkat tangan setinggi-tingginya. hal hal penting tak bisa dilihat mata. tak apa. kami bisa.   lalu dunia mulai terbalik. yang mengaku sebagai kami menunggal pada satu jari. ada kaca ajaib yang muncul. beningnya terlapisi marah yang defensif. tau, semua tau. manusia memang begitu. tak apa, sungguh. yang mengerak ini tak akan terhapus, hanya perlu sebotol kejujuran untuk membuatnya kembali berkilau. tapi yang terbalik cuma dunia, kepala tetap sama kerasnya. tuhan, bolehkah jika cuma Engkau yang (kami) percaya?  ada pintu yang baru saja tertutup di depan muka. tidak. tidak. tak ada nama penghianatan. yang tertulis cuma mahalnya harga sebuh kepercayaan. lepas sajalah. semua manusia ingin didengar. semua manusia ingin diperhatikan. manusiawi adalah satu keajaiban.  (kami) berhenti.  tapi yang retak tak mau berhenti. kotak kaca kecil mengeropos kehilangan dirinya.  yang di sini gamang. masihkah bisa jika percaya pada huruf tak bernyawa?menutup mata terasa lebih mudah daripada segalanya.
http://www.facebook.com/notes/erika-paprika-rikku/judulnya-simple/10150440289931736

apa kalian tau rasanya di khianati? di bohongi oleh orang dekat? ini rasa yang saya punya. di bohongi oleh orang yang sudah saya tasbihkan sebagai orang dekat, sahabat virtual yang menipu banyak hati. semua sudah terlanjur percaya, tapi apa yang kami bisa lakukan jika ternyata dia yang memilih menenggelamkan persahabatan dalam identitas palsu yang dia bawa? dia sakit, kami tau. kami cuma butuh pengakuan, tapi dia memilih menghilang dalam sakit hati. yang sakit hati itu harusnya kami bukan? tapi sudahlah. ini kisah lama.


yang ini tentang jatuh cinta :D


Seperti mendung, yang menggelap perlahan. Semakin penuh, hingga akhirnya hujan. Aromanya menyenangkan. Menjadi jembatan, yang memberi rasa dan menerima rasa. Abstrak. Namun diliputi cemas. Serupa cenayang amatir, kuhabiskan sudah tinta dan kertasku, memetakan apapun yang ada di benakmu.  Lalu, memang seperti mendung. Yang datang tak kira-kira.  Kapan dibutuhkan, atau kapan dihindari. Tak jelas lagi batas.  Kamu. Selalu menarik tatapku. Seolah cuma ada kamu, kugambar yang lainnya dalam bisu. Warna ini, kamu. Tapi kenapa?Masih ada jutaan 'kenapa' yang ku jajarkan, kamu lah alasan. Jadi, kenapa?  *aku hanya perlu mengoleksi lebih banyak lagi 'kenapa'. Jawaban yang muncul tanpa pertanyaan ini membuatku tersedak. Ini, seperti halnya kesalahan, tak ada yang menginginkan. What should i do?*  antara mengikuti suara kaki atau suara hati.
http://www.facebook.com/notes/erika-paprika-rikku/3-3-3-love-love-love-3-3-3/10150365477081736

kadang tak perlu kalimat manis untuk mengungkapkan cinta yang kita rasa. ini lah ras saya saat jatuh cinta :)) *duh jadi malu* :p


ini tentang kemarahan

Penjual parfum. Kaupikir kau rugi jika aroma daganganmu diendus mereka? 
Tak ada yang berkurang. Ikat udara, maka kau kaya seumur hidup. Maukah? 
Pelukis. Indahmu tak lantas bikin hartamu tandas bukan? Para penikmat yg hanya berjajar dan melepas liar mata tak hendak buatmu miskin tujuh turunan. Kedekut. 

Tak ada yg hilang. Cemerlang warna yg kau penjara pada kanvas tak kan lari, mata-mata liar itu cuma apresiasi. 

Penyair. Luka kah, saat aksara-aksara dari penamu dibaca mereka-mereka yg haus tulisan? 

Karya-karya lahir sebagai perbincangan. Kau yang jadi raja, cuma kelam darimu yang punya cahaya. Harusnya bangga. 
Semuakah?? 
Saya penjual parfum, pelukis dan penyair egois. Melihat aroma, kriya dan kalimat yang keluar dr dapur sendiri, namun disajikan dalam lapak orang, hmpf~ rasanya ngga nyaman. Apa andil mereka? Ikutkah mengolah bahan? Yang di kepala ini, dapur kotor penuh serakan moment-moment lahirnya mereka. Kau punya? 
Itu saya. Yang egois. Yang kikir dalam karya. Saling hargai saja. 
*menghabiskan jam makan siang di kantor dg buka-buka tulisan lama, beserta banyak catatan. Mereka-mereka yg pernah memakai tulisan saya untuk pribadi mereka, tanpa permisi. Susahkah sebuah credits? Supaya saya tak perlu membuatkan akte pada tiap-tiap kalimat yg keluar dalam coretan. Dalam kalimat-kalimat itu tersembunyi kisah. Tentu kau tak tau* 
http://www.facebook.com/notes/erika-paprika-rikku/whatsoeva-sigh/10150344274756736
saya marah. saya kecewa. beberapa orang mengambil kalimat atau kata saya untuk diakui sebagai miliknya pribadi. cuma kata. cuma kalimat. tapi buat saya itu rasa. apakah ada yang tau? rasanya seperti kehilangan anak *emang udah pernah? belum sih, cuma melogika aja :D* jadi, berhenti mencuri. kalau anda merasa kalimat saya sesuai dnegan keadaan anda sekarang, lebih baik bilang pada saya. bagaimanapun itu bukan hanya kata buat saya, tapi sekali lagi semua itu adalah rasa.


ini tentang rasa syukur

Butaku meraja. Terdekat tak terlihat di pelupuk mata. Berasa jadi sorot, hanya perlu yang jauh untuk jadi ahli. Ketika terkilir leher, menunduk lah satu-satunya keterampilan tanpa imbalan. 
Kalian yang disekeliling. Tak terkalimatkan dalam paragraf. Porsi besar yang tak jua muat dalam lembaran gambar. Bagaimana bisa tembus pandang? 
Betapa aku adalah pendosa. Tirai, atap dan pepagar yg ikhlas, kubiasakan tanpa rasa. Hendak jadi apa jika aku sendiri? 
Jangkau tangan lah yang bisa kujangkarkan, cukup kalian. Rengkuh ini artinya aku bersyukur. Dlm pedih tawa dan perjuangan, dua langkahku punya benteng kalian. 
Mari kita tempatkan, gemintang yang diatas itu tercerai berai. Tumpukan asa kita juara para rasi. Erat. Kuat. Terikat. Jajaran sempurna dalam gelap. 
Hey, d'Jilbaber. Esok, dtebing tertinggi kita akan menikahi matahari. Hari ini biarlah lepuh kaki-kaki, biarkan kucuran peluh menggelincirkan. Sukses itu mutlak punya kita. Beserta doa, usaha dan semangat yang jadi energi. Hwaiting! 
http://www.facebook.com/notes/erika-paprika-rikku/my-dear/10150232840476736
rasa syukur karena hidup saya dikelilingi orang-orang baik seperti mereka. :)) sahabat-sahabat itu adalah harta saya berharga milik saya. 


yang ini tentang rasa was-was

Dear langit. 
Siput kecil ini sedang gamang. Didepan terbentang medan asing. Dari mana hendak mulai berjalan? 
Detik seakan kurang air. Lajunya seret, mengumpulkan niat jadi bongkahan. Bagaimana hendak mulai kugambarkan? 
Siput ini terlempar, belajar sendirian di lautan rimba. Mengandalkan pengalaman. Intuisi dan adaptasi. Entah banyak garam. Entah panas terik. Atau justru lembab berlumut. 
Siput ini cuma butuh hari ini untuk diam. Mengumpulkan bekal dan penenangan. Besok menghitung laju, start segera mulai. 
Doanya ya cemans cemans. Love "SnaiL- Kece"
http://www.facebook.com/notes/erika-paprika-rikku/snail/10150231107341736
ini saya bikin ketika saya hendak KKN, sehari sebelum pemberangkatan KKN tiba-tiba saya di serang rasa was-was. seperti apa nanti daerah tempat KKN saya? akankah KKN saya nantinya menyenangkan? sukseskah saya dengan semua program KKN saya?


ini tentang kata


Debu jadi karat mata pena, tujuh lapisnya menumpulkan lubang tinta.
Dulu warnanya bening, lalu biru kelabu serta pekat turut gelar kelir.
Lama telah biasa..
Tombol berlampu megahkan singgasana. Ada sisa gelap melarikan senja di kereta bulan. Dulu mereka bebintang, sekarang memang cuma cahaya.
Kertas-kertas ide membusuk, tak terpanggil siapa-siapa. Tak ada rumah. Dimana hendak kulumpuhkan aksara?
Kupinjam selembar langit, aku diteriaki maling oleh jalanan pagi. Kuterbangkan saja jalinannya, biar jadi layang-layang. Dan mereka pasti terpukau. Pagi, siang, malam.
Lantas, ada gemerisik lusuh terabai, ia ditemukan oleh putus asa. Kupenjara segenap noda. Mata penaku akhirnya punya hari kemenangan.
Sayangnya, cuma lontar kering sih. Aku bingung. 
Ku bangun saja stasiun sepi. Saat pagi mengendarai kereta bulan yang terbirit, harap sudi ia singgah. (agar suaraku yang lelap dalam lontar, bisa dia baca pelan pelan)
http://www.facebook.com/notes/erika-paprika-rikku/sayangnya-cuma-lontar-kering/461880636735
 saya pernah kehilangan habis-habisan. semua koleksi kata yang pernah saya punya ludes karena kesalahan kecil. marah pada diri sendiri. lalu ada komentar, kenapa nggak bikin lagi aja? toh cuma kata. duh pengen nangis rasanya. bagaimana saya harus menjelaskan pada beliau, kata yang saya punya itu ada peristiwa di dalamnya, ada rasa di tiap hurufnya.


ini tentang kehilangan orang terkasih


Saat itu adalah hari ini. Matahari kelabu dimana-mana. Dunia mengasingkanku dalam hampa. Cahaya semu bias terakhir dr tatapmu di mata ini. Bukan perpisahan kupikir.
Terpekur dalam bus, perjalanan mengumpulkan serpih sisa runtuhnya aku dalam langkah menujumu. Berkali ku hela laju, cepat cepat kumohon. Bus itu cuma mesin, aku lari lebih dulu. Menuju kamu dalam apapun yg terbayang.
Udara tiba-tiba memadat, menjegal waktu yg kuderaskan. Rengkuhan itu darimu, lekat kuat memeluk tangisan yg entah keberapa kali dlm hari itu.
Toh, akhirnya aku tak mampu. Cuma kutemui sekelebat peti. Dengan kamu didalamnya. Pergi. Tak kulihat lagi.Aku membatu. Dengan segenap air yg tak mau henti. Kuabadikan kamu yg masih hilir mudik cantik. Bukan kamu yg hari itu. Dan kurasa ada disana. Bersama aku dan kamu, berdiri melihat peti dan jasadmu pergi.
(kita semua sama-sama menunggu jemputan. Kau yg keretamu telah tiba lebih dulu, hendaklah turut kemana ia laju. Kau tetap ada. Inspirasi di tiap mata pena. RIP nopik)
http://www.facebook.com/notes/erika-paprika-rikku/20-mei-2009/10150181729436736

sedih rasanya. saya tidak ada disana ketika dia pergi :'(


ini tentang perpisahan


Karenamu aku ini gunung tinggi. Terdiam di tanah, tak usik jika tak diusik. Yang kutatap kamu, jauh di ujung perjalanan. Antara kita cuma rimba, jalan, tanah lapang, pepohonan, rumah dan pantai putih landai.
Hujan do'a yang larutkan harap, biarlah kujadikan sungai menuju kakimu. Ikat tawarnya dengan buih asin. Teluk tak kan menyesatkannya hingga jauh darimu. Laut. Dan tetap jadi tujuan. 
Aku disini yang angkuh. Senantiasa menghitung tepian langit lebar. Kubentangkan hingga horizon matahari. Tetap jua tak ada jumpa yang kembali.
Bosan, seringkali tiada menggoda. Bergeming dalam tatap tetapku hingga kantuk. 
Ucapmu terpagut senja menuju buta. Tiada lagi kita. Tiada lagi sisa.
:: angin menjatuhkanku dalam lelap, terpaling mataku. Ternyata kita beradu punggung. Bagaimana bisa kulihat? Rapuh semua pencarian sosokmu dikejauhan, jika ternyata kita sdekat ini. Jangan mencari. Aku pun tiada lagi mencari. Kita telah bertemu sebenarnya. Dalam do'a-do'a baik. ::
http://www.facebook.com/notes/erika-paprika-rikku/gunung-tinggi-dan-laut-luas/430334701735
ini rasa yang saya miliki ketika saya harus berpisah dnegan seseorang yang bukan hak milik saya. sedikit malu menceritakannya tapi ya kalau orang bilang ini rasa patah hati. eh, tau ngga? di dalam blog  saya, postingan puisi ini mencapai hit tertinggi lhoo, sering banget di buka orang -___- saya tidak tau apa istimewanya, toh ini hanya rasa saya pribadi.

ini tentang seorang teman


Aku buta, itu katamu.Yang kulihat kau sempurna.Dan aku selalu lupa untuk mengingat, bahwa kau memang buta.
Aku benar-benar buta, kau mulai tak sabar.Tapi, siapa yang percaya? Kedua tanganku tebarkan jejak yang kian melebar, dan kau hafal semua. Apa yang kau sebut buta?
Aku masih buta, terus kau dengungkan pengakuan.Untuk kali ini saja tuhan, kuharap telingaku hilang fungsi. Kau hanya sempurna, dan kaurasakan itu sbg hukuman.Ah, kukira cuma matamu saja. Buta itu telah menular ke hati.
Ku tatap sengaja, dua manik jernih didepanku. Memang sedikit mengabut. Tapi itu salahmu. Itu cuma airmata yang terlampau tua. Buang, dan lihat dibaliknya. 
Baiklah, mungkin benar menurutmu kau buta.Tapi kau tau, masih saja kutemukan diriku tersesat didalamnya ketika mataku yang menyapa.Salah?
Sampai kapanpun hidup itu memang nggak pernah bisa sempurna, kitalah yang menyempurnakan hidup. Kau istimewa, sayang. Sempurna.
http://www.facebook.com/notes/erika-paprika-rikku/sempurna/10150099483046736
seorang teman mengeluh karena dia tidak secantik gadis lain sehingga dia ditinggalkan oleh orang yang dia cintai. ini rasa saya  tentang dia. tentang kegalauan hatinya.

huaaaaah, rasanya sudah panjang sekali yang saya tuliskan. rencananya cuma memberi contoh dari beberapa rasa yang saya bekukan dalam kalimat. eh tapi jatohnya justru kebanyakan gini.

apa konklusi dari tulisan ini? humm.. seperti biasa saya selalu random, saya tak pernah punya konklusi.
saya beri cuplikan kalimat yang pernah saya punya aja deh sebagai konklusinya. :D haha motif banget yak? :p


mereka bilang namamu purnama.. tapi yang kulihat kau hanya cahaya.  kubaca dalam buku, kau ini dunia..  namun yang ku tahu, kau dan aku sama.  pernah kau jadi jingga senjaku, semakin kemari trnyata kau ini pagi. -aku tau kini-
http://www.facebook.com/notes/erika-paprika-rikku/kau-siapa/433110026735


jadi siapa dia? Mimpi. siapa itu mimpi? dirimu.
maka jangan takut bermimpi. mimpi adalah hak para pemimpi, bukan hanya milik mereka yang merasa berbakat :))

jadi, hey kamu, apa mimpimu?






Senin, 03 September 2012

[cerpen] produk gagal kayaknya nih -___-


Aku menghela nafas sekali lagi. Mencoba menyabarkan hatiku yang di dalam. Debur ini tak mau hilang, Tuhan. Bagaimana jika sekalian saja jantung ini tak usah berdetak lagi? Mungkin itu akan terasa ribuan kali lebih baik.
Hari ini adalah harinya. Batas akhir dari penantian dan harapan yang tak bisa ku ucapkan. Mungkin malah sudah terlambat. Tapi kenapa aku tak menyerah?
Kembali ku tengok halaman depan rumahku dari balik kaca. Tak ada. Tak ada Pak Pos yang akan kemari hari ini. Harusnya sudah berminggu-minggu lalu ketika mereka mengedarkan semua undangannya termasuk ke Rena. Tapi aku masih merasa spesial, mungkin aku yang belakangan. Atau mungkin dia sendiri yang akan datang.
Tapi, hei, tentu saja tak ada. Memang harusnya tak ada undangan untukku kan?
Karena seharusnya hari ini aku yang ada di sampingnya. Menjadi mempelai wanitanya. Di hari pernikahannya. Pernikahan Egi.
Aku mendesah sedih. Tapi kenapa hari ini aku masih di sini? Mendekam di rumah dan patah hati.
***
5 tahun yang lalu..
“Egiiiii yang bener dong masangin pita-nya!!” Elena berteriak pada Egi yang sedang nyengir, pita yang seharusnya dipake untuk menghias undangan justru dia pake buat mengikat jempol kaki Elena dengan kaki meja.
“Aku bosaaaaaaaan~!!” setelah puas tertawa, Egi membanting punggungnya pada sandaran sofa sambil melenguh keras.
“Sabar ya Gi, ntar kalo udah selesai bantuin bakalan mbak traktir kalian makan. Terserah apapun yang kalian mau.” Bujuk mbak Vita, kakak Rena yang akan menikah. Keningnya sendiri berlapis peluh, karena seharian mereka sibuk masang pita di semua undangan.
Ugh, gara-gara Wedding Organizernya mogok nih. Mereka lepas tangan gitu aja. Jadinya sekarang Elena, Egi dan Rena yang disuruh bantuin, kan?
“Lagian mbak Vita noraknya kebangetan deh, apaan undangan pake pita. Ini lagi, kenapa sih kalo mau ngehadirin nikahan orang diwajibin pake kebaya? Its so last year bangeeettt, Ih~” Rena keluar dari salah satu kamar terdekat, sembari merapikan kebayanya dan mencibir kakaknya. Egi kembali tertawa, Rena aneh banget pake kebaya. Mana ada pake kebaya tapi jalannya tetep gagah kayak cowok?
“Rena, kamu tiap hari aja pake giniannya, yakin nih kita semua bakalan awet muda kebanyakan ketawa hahaha”
Elena melempar asbak terdekat ke arah Egi, “Jangan pernah bercanda dengan penampilan seorang wanita, kamu nggak akan pernah tau apakah kamu sedang membunuh kepercayaan dirinya atau mencuri separuh hatinya” ujar Elena serius, Egi mengaduh sambil mengelus keningnya yang terasa nyeri gara-gara lemparan asbak dari Elena.
“Ih serius banget sih nyonya satu ini..”gerutu Egi, namun dia melanjutkan dengan nada serius ke arah Rena “Tenang, Na. Nantinya kalo aku nikah kamu bebas pake baju apa aja, mo pake kostum bola juga terserahhhhh..” mbak Vita dan Elena nyengir mendengar celoteh Egi.
“Ide bagus, Gi. Aku pake bikini aja ya, muahahaha..” sambar Rena.
Egi tersedak, “Edan, sekalian aja nggak pake baju, Na..” ujarnya sembari memutarkan mata mendengar ide sinting Rena.
“Hahaha, kalo itu mah ntar pengantin prianya yang seneng. Eh, tapi undangannya ntar jangan pake pita lho Gi, ilfil jadinya sama pita nih~” bahkan Elena ikutan menggerutu gara-gara pita, Mbak Vita meneguk ludah  serba salah.
“Dan.. daaaan undangan buat Rena harus ada berliannya minimal satu! Wajib! Apaan undangan isinya kertas doang, ngabisin stok pohon di dunia aja. Kalo misalkan ada berliannya kan lumayan bisa disimpen hahaha” Rena yang duduk menelusup di sela Elena dan Egi tertawa keras. Yang lain cuma bisa menggelengkan kepala, otaknya Rena nih emang nggak pernah sehat kayaknya.
“Iyaaaa, ntar undangannya dikasih berlian deh khusus buat Rena~” sahut Egi, tawanya masih terurai.
“Buat aku jugaaaa dong, Gi~”Elena merengek sembari menarik ujung lengan kaos Egi.
“Kamu nggak perlu pake undangan dong, El sayaaaaang~ kan kamu yang bakal jadi mempelai wanitanya” Egi mengedipkan mata dengan genit.
Rena, Elena dan Egi memang sahabatan dari lahir, tapi belakangan Elena dan Egi menjalin hubungan khusus. Rena tidak mempermasalahkan, malah dia semenjak SMP berkoar-koar memproklamirkan bahwa dia nggak akan menikah, alias melajang seumur hidup.
Elena tersipu, mukanya memerah dengan cepat. Rena memeragakan orang muntah dan mbak Vita berteriak-teriak geli karena interaksi lovebird tersebut.
***
Tanganku tanpa sadar menghapus air yang meleleh dari sudut mata. Masa-masa bertiga itu entah hilang kemana.
Lima tahun memang bukan waktu yang singkat, tapi semua terasa sangat cepat bagi kami.
Ku ambil sehelai kertas dari bawah bantal yang sudah kusut karena berulang ulang kubaca sekaligus tertimpa airmata. Surat dari Egi. Surat terakhir Egi sebelum dia menikah. Surat pertama dan terakhir Egi setelah kami putus dan dia menemukan gadis lain.


Buatmu, yang kucintai lebih dari apapun, inilah yang terakhir dari kebersamaan kita.
Tak akan ada yang bisa kita ubah, Len. Meskipun kita menangis, meski berulang kali kita menengok ke belakang. Akulah yang akan selalu berkata tidak. Akulah yang memutuskan perpisahan kita.
Aku yang selalu terlihat kuat. Aku yang berusaha untuk kuat. Aku yang kau lihat terlalu kuat untuk lumpuh.
Inilah yang sebenarnya. Akulah yang lemah dari hubungan ini, bukan cinta kita. Aku pengecut yang tak punya kemampuan untuk melindungimu selalu.
Jangan pernah mencintai seseorang sepertiku.
Jangan merindukan seseorang sepertiku, lagi.
Temukan yang lain, dia yang tak bisa melewati sehari tanpamu, dia yang mencintaimu hanya melihat padamu dan hanya membutuhkanmu.
Ini menyakitkan, El. Melihat kau yang selalu berusaha untuk hubungan kita, ini menyakitkan.
Aku hanyalah pengecut.
Bahkan jika sekarang kita menyesali perpisahan pun, aku tak bisa berbuat apa-apa selain mengucapkan selamat tinggal. Inikah pria yang selama ini kau cintai, El?
Jangan lagi menangis, El. Semakin kita menghitung hari-hari yang telah lewat, hanya sakit yang ada. Mari kita berbesar hari untuk melupakan, jangan pernah merindukan cinta bodoh kita yang sudah terlewat. Kita tak punya tempat untuk kembali.
Temukan seseorang yang hanya melihat kamu, yang hanya membutuhkanmu. Dia yang tak bisa melewatkan seluruh harinya tanpa ada kamu di dekatnya.
Kamu harus bahagia, El. Kita harus bahagia. Let’s never meet again…


 Kembali aku berurai airmata. Inikah perpisahan, Gi? Atau sebuah pengusiran? Apakah ini kesalahan? Aku yang selalu saja berdoa agar aku tak pernah melihat yang lain selain kamu. Aku yang hanya bisa mencintai kamu.
Terdengar kembali suara Rena di telingaku. Dua tahun lalu saat aku dan Egi belum benar-benar putus. Saat kami bertiga masih rukun.
Aku dan Rena janjian untuk bertemu di salah satu festival Kembang Api tahun baru di Jepang. Perusahaan menugaskanku untuk mengurus sesuatu di sana sedangkan Rena memang menetap di Jepang setelah kami lulus kuliah.
“Apa yang kau minta?” Rena bertanya dengan penuh rasa penasaran setelah melihatku membuka mata. Kami baru saja mengucapkan permintaan tahun baru ketika itu di 20 detik pertama setelah pergantian tahun.
“Kenapa kau ingin tahu?” aku menggoda Rena dengan tidak menjawab pertanyaannya langsung, sebagian dari hatiku memang tak ingin menjawabnya.
“Uh, oh. Ayolaaah~” rena merengek lagi.
Aku tersenyum, “Aku meminta agar kita selalu tetap menjadi sahabat, aku meminta agar aku hanya akan mencintai Egi, aku meminta agar Egi tak pernah melirik cewek lain selain aku, puas?” sahutku sambil mencubit hidungnya. Rena terkekeh. 
Tapi saat tawanya berhenti, tatapannya lurus ke arahku dan dia bicara dengan raut serius. “Apa kau yakin tak salah mengucapkan permintaan?”
“Maksud kamu?” sebelah alisku naik mendengar ucapan Rena barusan.
“Kenapa kau meminta hanya mencintai Egi? Kenapa kau meminta supaya Egi tak melihat cewek lain?”
Aku terdiam. Sejujurnya aku memang tak tahu jawabannya. Aku hanya menunggu Rena mengungkapkan apa yang dia pikirkan karena dia selalu punya sisi berpikir yang berbeda dari orang kebanyakan.
“Setia itu bukan melihat hanya pada yang satu dan membutakan diri pada yang lain, setia itu yang terlihat hanya yang satu meski selalu ada yang lain di sekitarmu.” Pelan Rena berkata sambil memalingkan wajahnya dari mataku.
Saat itu aku tak memahami sepatah katapun dari apa yang diucapkan rena, aku hanya menganggap dia berpuisi atau semacamnya, tipikal seorang Rena.
Tapi hari ini aku tau apa yang dia maksud. Ini adalah kesalahan. Aku termakan permintaanku sendiri. Aku tak pernah bisa lepas dari Egi. Aku tak bisa melihat yang lain selain Egi setelah perpisahan kami. Aku selalu merasa menjadi orang yang paling menderita.  Patah hati dan kecewa telah membuat hidupku suram, siapa yang salah? Aku. Aku yang memilih sakit hatiku sendiri. Aku yang memelihara rasa kecewaku sendiri. Aku tak pernah benar-benar berusaha untuk pergi.
Kubaca kembali apa yang Egi tuliskan. Semakin aku menelusuri tiap katanya, semakin aku jatuh.
“Jangan pernah mencintai seseorang sepertiku.
Jangan merindukan seseorang sepertiku, lagi.”
Egi benar. Buat apa? Jika Egi sendiri merasa dirinya tak cukup kuat untuk cinta kami, apa lagi yang harus aku pertahankan? Cinta macam apa yang selama ini aku perjuangkan mati-matian? Seseorang yang bahkan percaya dirinya tak cukup baik buatku, apa lagi yang bisa aku dapatkan dari dirinya? Apakah aku bersedia hidupku punya pemimpin yang seperti itu?
“Temukan yang lain, dia yang tak bisa melewati sehari tanpamu, dia yang mencintaimu hanya melihat padamu dan hanya membutuhkanmu.”
Kenapa aku tak pernah mencoba? Dari mana aku tahu bahwa aku tak bisa hidup tanpa Egi jika mencoba saja aku takut?
Seluruh badanku gemetar. Aku menggigil karena kebodohanku. Apa yang kudapat dari dunia selama ini? Egi hanya satu orang, tapi kenapa aku merasa seperti seolah seluruh dunia pergi dariku? Egi yang cuma satu buat dunia, kenapa aku merasa justru dia seluruh duniaku?
Dan apa yang kudapat sekarang? Nothing. Aku kehilangan cinta kami. Dan yang terburuk, aku kehilangan persahabatan kami. Saling diam dan mengacuhkan, pura-pura tak mengenal dan mengasingkan satu sama lain. Inikah yang kuharapkan? Inikah yang kumau?
Rasa malu memenuhi kepalaku. Ternyata aku yang menjatuhkan diriku sendiri, aku yang merendahkan diriku sendiri. Aku yang menyakiti diriku sendiri.
Kukepalkan tanganku, kupukulkan sekali ke arah kaca rias di kamarku. Cuma retak. Tapi ini untuk patah hatiku.
Kupukulkan sekali lagi, sedikit lebih keras. Ini untuk segala waktu yang kusia-siakan dalam penantian dan harapan.
Kupukulkan sekali lagi, semakin keras. Ini untuk kebodohanku. Untuk tindakanku yang tak lebih dari seorang pengemis.
Lagi, ku hantamkan kepalan tanganku ke arah kaca yang sudah remuk dan tinggal beberapa kepingan yang masih menempel, sisanya berserakan di antara peralatan make up yang terjajar rapi. Semuanya terkotori oleh darah. Tak kurasakan sakitnya.
Kupukulkan sekali lagi. Ini yang paling keras hingga punggung tanganku mati rasa. Aku marah. Marah pada diriku sendiri. Rasanya sampai sakit memikirkan betapa bodohnya aku hari-hari kemarin. Aku masih saja berdarah-darah di sini sementara Egi sudah pergi kemana-mana dan menemukan tempat impiannya. Apa yang kudapat dari mengasihi diri sendiri?
Aku kembali menangis. Keras. Aku tak peduli jika seluruh orang rumah tahu, toh mereka sudah tahu jika aku patah hati. Mereka juga tak akan peduli. Tak ada yang peduli.
Sudut gelap ini terasa amat nyaman. Dengan tangan berdenyut-denyut menahan sakit sekaligus nyeri di hati aku memeluk lututku sendiri dalam diam. Aku menangis tapi bahkan untuk mengeluarkan suaranya pun aku terlalu malu, aku sudah terlalu banyak menangis.
Sesuatu yang bergetar membuatku hampir melonjak kaget. Suara sekecil apapun akan terasa sangat keras jika hatimu sedang sensitif bukan?
RENA calling..
Aku masih mengantongi ponselku ternyata, dan dia masih tetap berfungsi tak peduli berapa kalipun ku buang benda ini karena tak pernah ada nama Egi lagi yang terpampang di layarnya.
Dengan tangan kiriku yang normal ku sentuh layarnya lalu ku geser tanda tombol panggilan,
“............” aku mengangkat telepon dari Rena tapi aku tak hendak berbicara sepatah katapun. Aku yakin aku tau dimana dia sedang berada saat ini.
“El.. ” sejenak terdengar keraguannya saat memanggilku.
“Mmmm~” aku menyahutinya singkat, sekedar berbasa-basi. Bagaimanapun juga aku sudah tak punya seseorang yang peduli. Jika aku juga mengusir dia yang ada mendekatiku, itu akan terasa ribuan kali lebih menyakitkan untukku sendiri.
“Kamu pasti tak akan percaya apa yang mau aku ceritakan ini. Pestanya ngebosenin dan makanannya, ugh its horrible. These food tasted like shit.” Aku sedikit terkekeh mendengar umpatan Rena.
“Have you ever taste your own shit?” kalimat itu terlontar begitu saja, seolah otomatis.
“unfortunately, hell yes i was.” Rena kembali mengumpat sesuka hatinya, bibirku menulas senyum meski sisa airmataku belum kering. “have i told you the whole story about this before? Here we go.. jadi di saat aku umur 5 bulan..”
Air mataku kembali deras. Aku hafal dengan jelas kata perkata dari cerita Rena itu. Ini bukan kali pertama aku mendengar darinya. Tapi bukan itu yang membuatku menangis.
Dulu kami, aku dan Egi, sering meledek Rena mengenai cerita ini. Tapi toh Rena juga masalah untuk menceritakan berulang-ulang selama kami masih bersedia mendengarkan. Tentu saja aku dan Egi selalu bersedia mendengarkan.
Tapi bukan ini yang membuatku kembali menangis. Aku masih saja tertinggal di belakang. Kalimat yang aku ucapkan secara otomatis tadi adalah kalimatnya Egi, dia yang selalu mengomentari negatif terhadap cerita Rena. Kenapa aku amsih tak bisa lepas dari Egi?
“..pantai. Gimana, El?” sayup-sayup aku mendengar Rena bertanya. Dia masih di seberang ternyata.
“Eh, pantai?”
“Iyaaa, pantai..sssst, di balik kebaya ini aku pake bikini lhoo, haha. Abisan si Egi katanya dulu aku boleh pake apa aja kalo dia nikah, eh ujung-ujungnya disuruh kebayaan juga. Wuuu~ ”aku mendengar Rena menggerutu.
Anehnya walaupun aku masih menangis, tapi rasanya tak ada lagi nyeri yang menusuk-nusuk sekarang. Meski nama Egi berulang kali disebut, tapi ternyata tak sesakit dulu.
“El..”tiba-tiba saja nada suara Rena terdengar sangat serius.
“Ya?”
“Kamu ngga akan pernah sendirian.” Ujarnya sangat pelan. Aku diam tak menanggapi.
Sepi terdengar menyela pembicaraan kami. Lalu Ren akembali melanjutkan dengan nada biasanya yang ceria.
“Jemput kamu 15 menit lagi ya? Dandan yang cantik dan pake bikini paling keren.” Aku hanya tertawa menanggapinya.
“Dan bersihkan apapun yang berdarah di sana. Kau tau... aku bisa pingsan mendadak saat melihat darah.” Dia menambahkan dengan sangat pelan, hampir serupa bisikan.
Aku tercekat. Dia tau. Dia memang selalu tau. Tapi dia tidak menyalahkan tindakan bodohku.kembali airmataku meleleh, tapi kali ini karena terharu. Kuputuskan hubungan teleponku dengan Rena. Ternyata menyenangkan sekali jika kita mampu dipahami tanpa harus berkata apa-apa.
                                                            fin


uwaaa apaan nih? entahlah, saya hanya menuliskan sesuatu yang muncul di kepala saya hehe. endingnya jelek bgt ya? emang sih. saya kehilangan plot cerita saat hendak sampai di akhir bagian hiks..