Rabu, 25 Agustus 2010

kau siapa?

mereka bilang namamu purnama..

tapi yang kulihat kau hanya cahaya.


kubaca dalam buku, kau ini dunia..


namun yang ku tahu, kau dan aku sama.


pernah kau jadi jingga senjaku, semakin kemari trnyata kau ini pagi.

Kamis, 05 Agustus 2010

hwating!

hari ini aku menjadi sungai..

yang mengalir, mampat, terbendung, bergolak, tenang, dan terjebak..

namun aku akan kembali mencari jalan^^
merembes, mencungkil, menyusup, memancar, menyembur, menetes, menjebol, lantas mengalir lagi...

karena sungai tak pernah berhenti di satu tempat saja..

laut tujuannya..

Selasa, 03 Agustus 2010

nothing.

apa yang tak ku tuliskan hanya akan berkarat oleh gerigi waktu...

mereka menyebutnya kenangan..

coba coba yaaa..^^

Seorang gadis kecil berusia sekitar tujuh tahun terlihat berlari lincah diantara panasnya siang. Sepertinya dia baru saja pulang sekolah. Peluh menetes dari keningnya, tapi dia tak peduli. Sebentar lagi dia sampai rumah dan hal yang paling ingin dilakukannya saat ini adalah buru-buru masuk, menghindar dari sengatan matahari. Didepan sebuah rumah besar bercat baby yellow dia berhenti dan membuka pintu pagar, itulah rumahnya.

Rista, demikian nama gadis kecil itu, membuka pintu depan dengan hati-hati kemudian masuk. Tapi sesampainya diruang depan, ia termangu. Didepannya terlihat papa sedang membawa koper-koper besar seperti hendak bepergian. Mama berjalan dengan muka kusut, mengekor dibelakang papa. Make-upnya tadi pagi luntur, mungkin mama habis menangis.

“Papa mau kemana?” Rista bertanya polos.

Papa menoleh kearah Rista, memandangnya agak lama dengan tatap mata yang tak mampu Rista artikan. Papa lantas menghampiri Rista tepat didepannya, meletakkan semua koper yang dipegangnya lalu berjongkok hingga tingginya sejajar dengan Rista. Mata Rista masih melihat tatapan papa yang campur aduk. Beliau akhirnya memejamkan matanya sejenak sambil menghela nafas berat.

“Rista sayang sama Papa?” pelan Papa bertanya.

Rista mengangguk, pikiran kanak-kanaknya masih belum mampu mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Papa tersenyum, “Papa juga sayang sama Rista”. Dielusnya puncak kepala Rista dengan lembut. Rista mengelak, enggan. Dia masih penasaran. Dia menginginkan jawaban atas ketidaktahuannya saat itu.

“Papa mau kemana, sih? Kenapa seolah-olah Papa mau pergi untuk seterusnya?” celetuk Rista sebal.

“Rista, mulai hari ini Papa nggak akan tinggal bersama Rista dan Mama. Papa punya rumah baru, nanti kapan-kapan kalau Rista kangen, Papa ajak Rista nginep kesana. Untuk sementara ini, Rista ikut mama dulu yah sayang? ” Papa terdiam sejenak, kemudian melajutkan, “Rista nggak boleh nakal, harus nurut sama Mama, dan jangan jadi anak yang manja, Papa nggak suka anak Papa manja.”

Tatapan Rista kosong, sedikit demi sedikit dia tahu. Mungkin pada akhirnya Mama dan Papa memutuskan untuk bercerai, sudah terlalu lama Rista menjadi saksi atas pertengkaran mereka berdua. Raut muka Rista datar saat Papa memeluknya erat, lama. Begitu juga saat Papa mulai beranjak dari hadapannya. Sekali lagi papa mengelus lembut kepala Rista, kali ini Rista tetap tak bereaksi. Satu per satu langkah pelan Papa mulai menjauhi Rista.

“Jangan pergi, Pa!” Suara pilu inilah yang akhirnya keluar dari mulut mungil Rista. Mama yang sedari tadi terdiam, seolah tersentak, baru kali ini Rista mengeluarkan nada bicara sepilu itu.

Papa pun tercekat saat mendengarnya dan kembali menoleh kebelakang. Tatapannya berpindah-pindah dari Rista ke Mama yang kini telah kembali pada posisi semula, melipat tangan dengan sikap dingin sambil bersandar pada tembok. Mama membuang pandangan keluar. Kaca teras samping tembus pandang langsung ke taman, ada halaman rumput hijau dengan sungai mini buatan, tempat dimana Rista dan Papa sering melajukan perahu kertas atau sekedar bermain di kecipak airnya.

Rista turut memandang Mama penuh harap, meminta kepastian dan dukungan atas ucapannya sebelum ini. Mama masih tak bergeming dari posisinya, sudut matanya menyorotkan keangkuhan, dengan sedikit sisa-sisa tangis. Matanya masih nampak sembab.

Menyerah, akhirnya Rista kembali memperhatikan papa. Beliau sendiri hanya mengangkat bahu, diambilnya koper yang tadi diletakkannya begitu saja, kemudian melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar. Semua terjadi dalam hening.
Rista terus menerus memperhatikan punggung Papa hingga beliau keluar dan tak nampak, tak sekalipun Papa menoleh lagi. Rista menangis tanpa suara, pikiran kecilnya benar-benar syok. Sayup-sayup terdengar Mama kembali menuju kamar dan membanting pintu.
***

how about this? sekedar prolog saja c..hehe